Oleh Gatut Priyowidodo
Email : gatutpriyowidodo@yahoo.com
www.gatut-edu.com
Abstrak
Bencana sesungguhnya ikwal yang multi tafsir. Tidak semua masyarakat mengangap bencana alam apakah itu gempa, gunung meletus, kekeringan, banjir dan lainnya sebagai sesuatu yang destruktif. Dalam perspektif hubungan interaktif makro dan mikrokosmos, justru kerapkali terjadi pembalikan makna. Bencana bisa saja dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat ’ngalap berkah’ (memperoleh berkat) dari sang Penguasa Alam kepada manusia. Itu sebabnya, mengapa untuk sebagian masyarakat tertentu, sekalipun pihak BMK (Badan Meteorologi dan Klimatologi) sudah memperingatkan bahwa akan terjadi bencana, tetap saja mereka sulit diungsikan tidak lain karena adanya relasi tertentu tersebut.
Dalam konteks dinamika politik nasional yang sekarang sedang terjadi juga demikian. Setiap kali musibah alam datang, selalu akan dikaitkan bahwa sesungguhnya pemimpin negara yang ada saat ini tidak terlalu memiliki persenyawaan yang diharapkan sesuai dengan keinginan alam. Maka, jika dalam kurun waktu lima tahun selalu terjadi bencana, itu tidak lain karena alam sesungguhnya mengatakan sesutu yang lain kepada para pemimpin negeri ini dengan bahasa simboliknya.
Keywords: natural disaster, state, political dynamic
Pendahuluan
Pada era SBY-Kalla ini, Indonesia memang negeri yang beruntun terkena musibah. Tidak tanggung-tanggung. Awal mereka memerintah sudah disambut insenden maut iring-iringan di jalan tol. Sekian orang tewas sebagai tumbal. Belum cukup! Pada tahun yang sama, tepatnya 26 Desember 2004, ratusan ribu orang tewas tergulung terjangan tsunami Aceh. Dua tahun kemudian, kepunden mbah Maridjan Gunung Merapi pun marah. Gempa meluluhlantakan harta, nyawa yang tak ternilai harganya. Persis 29 Mei 2006, Lumpur Lapindo mengguncang dunia. Tahun 2008, gempa Gorontalo. Hingga beberapa hari menjelang akhir mereka berkuasapun tetap tragedi alam tak pernah sirna menyapa. Situ Gintung seolah melengkapi firasat murkanya alam.
Kalangan ilmuwan pasti berpendapat bahwa prognosis seperti itu tak lebih dari isapan jempol. Lugas dan tegas mereka akan berpendapat apa korelasi linier serta logika berpikirnya bencana alam dengan pemimpin negara? Sama halnya ketika beredar ramalan bahwa Indonesia semestinya dipimpin oleh mereka yang bernama akhiran NO-TO-NE-GO-RO. Praktis empat presiden pengganti pak Harto (Habibie, Gus Dur, Mega dan SBY) seolah kehilangan wahyu memimpin. “Pulung” kekuasaan yang seharusnya menyertai mereka justru tak pernah hadir sebagai realitas nonempirik. Siapa mereka kemudian menjadi gugatan periodik non ilmiah yang sengaja dilempar ke atmospir politik Indonesia yang serba nisbi. Lalu pertanyaannya, pesan komunikasi apa yang sengaja disuarakan melalui berbagai prahara tersebut?
Pesan dari Horeb
Menyimak tanda demi tanda, ingatan penulis melayang jauh ribuan silam pra tarikh Masehi diawali. Ada seorang nabi di Israel yang bernama Elia. Setelah tugasnya membunuh semua nabi palsu pembela nafsu kekuasaan raja selesai, tiba gilirannya ia sendiri yang akan dihabisi oleh Izebel sang penguasa.Tidak ada pilihan lain. Ia harus waskita dan cerdik. Lari ke Gunung Horeb. Setelah tetirah. Tanpa disangka, angin kuat bak badai yang bisa memecah gunung dan membelah bukit datang menerjangnya. Tapi ia selamat.
Tak berapa lama, gelegar gempa yang seakan menyobek bumi tiba mengunjungi, tapi lagi-lagi ia masih bertahan di situ. Ternyata dua pertanda dahsyat itupun tak mempan menamatkan riwayatnya. Datang, sinyal ketiga yakni kebakaran hebat namun sekali lagi luka bakar kalis, tak menyentuhnya. Hingga akhirnya lewat angin sepoi Tuhan langsung berbicara kepadanya, apakah kerjamu di sini, hai Elia? Ia terhentak. Seolah apa yang semua ia kerjakan selama ini tak diapresiasi Tuhan. Spontan ia menjawab, aku bekerja segiat-giatnya bagi Tuhan. Tapi Tuhan berkehendak lain. “Pergilah dan urapilah Hazael sebagai raja Israel yang baru serta Elisa menggantikanmu”.
Horeb, seakan menjadi saksi bisu tongkat kenabian dan otoritas profetik Elia dicabut. Ia tidak punya banyak pilihan kecuali tunduk dan menurut. Berbagai gelegar alam yang mendahului hanyalah perlambang ternyata alam dengan bahasa simboliknya bisa mengantarkan pesan untuk dibaca. Bahasa simbol yang diapungkanpun jelas dan terang benderang. Tergantung kemudian bagaimana kita memberi tafsir untuk setiap perkara yang dikirim dengan sejumlah isyarat yang penuh makna.
Makna Dibalik Angka
Logaritma ilmiah mungkin tidak berhasil mengurai makna apa dibalik angka. Tetapi setiap tahun paling tidak selama pemerintahan SBY-Kalla (2004-2009), entah sudah berapa ratus ribu korban sia-sia atas nama bencana. Apakah itu kategori bencana alam (gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, topan, dan tanah longsor), bencana non alam (gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemic dan wabah penyakit) maupun bencana sosial (konflik sosial dan terror).
Ajit Pathak (2005) dalam studinya tentang komunikasi kebencanaan menyebutkan bahwa persoalan paling berat ketika ‘natural disaster’ tiba adalah kegiatan tanggap darurat itu sendiri dan yang kedua persoalan komunikasi serta penggalangan dana. Namun yang tak kalah pentingnya adalah merekonstruksi mental korban post bencana. Rehabilitasi mentalitas yang drop tidak saja membutuhkan waktu ekstra tetapi juga expertise khusus tergantung jenis kebencanannya dan implikasinya.
Steinberg (1996) dan Horder (2006) menyebut bahwa sesungguhnya bencana alam atau non alam, intinya berangkat dari kecerobohan logika manusia dalam memetakan persoalan. Petaka Chernobyll (1989) misalnya, tidak lain karena logika linier yang mereduksi prinsip-prinsip nonilmiah ke parameter serba ilmiah. Artinya, probabilitas falsifikasi sengaja ditiadakan, karena klaim bahwa secara prosedural dan teknikal tidak mungkin terjadi kesalahan eksekusi final.
Tentu bila dikaitkan dengan musibah Challenger (2000), premis berpikir Steinberg tersebut menemukan justifikasinya. Intinya seketat apapun kalkulasi aritmatik, lubang kecerobohan tetap harus diplat besi agar peluang itu memang tidak ada. Tapi pertanyaannya, adakah jaminan untuk itu? Kekuatiran itulah sebenarnya yang bisa kita tangkap mengapa warga sekitar Gunung Muria Kudus, amat nuclear phobi, dan tak kunjung mau menyetujui wilayahnya sebagai lokasi PLTN demi menjawab kebutuhan kekurangan pasokan listrik nasional.
Beranikah PLN sebagai produsen menjamin jika sesuatu di luar kendalinya terjadi. Taruhlah ia berani. Tapi sanggupkah ia menekel semua konskwensi logis tersebut sebagai tanggungjawab bisnis perusahaan serta seberapa lama kesanggupan tersebut. Bagaimana kalau perusahaan itu melalui upaya legalnya dinyatakan pailit oleh pengadilan? Siapa yang take over? Taruhlah negara. Lalu bagimana proseduralnya. Kerumitan tersebut bisa jadi bayangan buram yang bakal dhadapi ketika memang musibah itu datang.
Lalu Bagaimana?
David C.Korten (1984) merumuskan bahwa pembangunan meniscayakan pengorbanan. Tetapi ia menggarisbawahi jika pengorbanan tidak boleh mempertaruhkan sustainibilitas kehidupan. Nilai-nilai kehidupan tetap yang primus interpares. Hanya sayangnya, ketika kebijakan publik sudah tidak berpihak kepada rakyat, kepentingan-kepentingan sesaat menjadi panglima.
Suara rakyat korban kebijakan menjadi lemah, sengau dan mungkin tak lagi jelas terdengar. Tidak ada yang membela mereka. Mereka seolah berjuang sendiri. Tanpa ada pendamping atau yang peduli.
Krisis kepedulian beriringan dengan tenggat waktu penyelesaian. Apa yang menimpa korban Lumpur panas Lapindo adalah contoh telanjang, dimana ketika keuntungan tidak lagi bisa dipungut dari sana, banyak pihak tak begitu peduli lagi. Ironisnya justru Gubernur Jawa Timur menganugerahi perusahaan Lapindo Brantas sebagai pemenang zero accident. Hanya karena kriteria perusahaan tanpa kecelakaan kerja. Lalu bencana akibat beroperasinya industri gas yang berdampak kerugian di semua sektor tersebut diabaikan, lalu dimana janji berbela rasanya dengan mereka?
Insiden demi insiden semestinya menjadi titik balik untuk melakukan kontemplasi. Tidak hanya pemimpin tetapi juga publik harus merevitalisasi pilihan politik mereka kepada pemimpin tersebut. Jangan sampai ketika pemimpin ini diteruskan mandatnya, justru semakin banyak petaka terjadi.
Secara semantik persenyawaan antara perang (yudho) dan kalla (bencana) itu memang tidak baik. mengapa harus diteruskan. Tentu tidak semua orang sependapat dengan ide ini. Bahkan jika mengacu pada hasil survei pasangan SBY-Kalla tetap yang nomor satu, mengalahkan banyak pasangan yang lainnya. Namun pasca keputusan bahwa dua orang ini akan maju sendiri-sendiri (JK dengan Wiranto, SBY dengan koalisinya) sebagai capres kiranya patut disambut gembira. Minimal secara leksikal sinergi kekuatan yang ‘tidak baik” pada dua pemimpin ini terpecah. Harapannya pasangan mereka harus lebih protektif atau kuat sehingga elemen ‘buruk’ pada makna kata yudho dan kalla benar-benar bisa dinetralisir.
Hari ini mungkin kita tidak bakal berjumpa lagi dengan nabi-nabi dengan kesalehan hidup dan misi-misi suci yang diemban menyampaikan kebenaran eskatologis, seperti masa Elia. Terlebih jika para ulama sebagai representasi kenabian kini telah terkooptasi kekuasan sekuler, suara untuk menyampaikan kebenaran spiritualpun akan hanya sayup-sayup terdengar. Celaknya, dari yang sayup-sayup tersebut porsinya tetap lebih besar untuk pledoi kekuasaan, benar atau salah yang penting dibela dulu dengan segala dalil keagamaan. Kalau sudah demikian, tamat sudah misi profetik untuk mencerahkan kegelapan kekuasaan. Maka jangan heran jika alampun murka, karena telinga penguasa semakin tak peka mendengarkan tanda-tanda simbolik yang dihembuskan dalam bahasa tak beraksara.
Hubungan Kekuasaan : Sketsa Komunikasi Politik
Indonesia modern ternyata tak pernah jauh beranjak dari logika berpikir Indonesia semi modern (primitif plus). Sekalipun konsep ‘power’ di belahan dunia manapun sama tetapi di Indonesia mesti dibedakan. Terlebih jika mengacu pada konsep kekuasaan Jawa. Studi yang dilakukan Benedict Anderson tentang The Idea of Power in Javanese Culture (1972) adalah bukti betapa kekuasaan dengan konsep ‘kasekten’ sangat berbeda dengan yang dipahami di Barat.
Barat melihat kekuasaan adalah upaya rasional individu, siapa mencari dia akan memperoleh. Tetapi di Jawa dengan konsep non rasional, kekuasaaan tidak dicari tetapi diberi. Jatuhnya ‘pulung’ kepada seseorang adalah manifestasi diterimanya ‘kasekten’ untuk memimpin. Itu berarti mereka yang tidak menerima ‘pulung’ sama artinya terdelegitimasi untuk memimpin.
Pertanyaan cerdasnya. Lalu siapa yang memberi ’pulung’? Lalu apakah Indonesia yang maha luas ini terdistorsi hanya Indonesia-Jawa? Dua pertanyaan tersebut sama sulitnya dengan menjelaskan, banyak saudara-saudara non Jawa lebih Jawa ketimbang orang Jawa sendiri. Itu artinya tataran berpikirnya tidak semata-mata kekuatan argumentasi tetapi mesti melibatkan kekuatan emosi dan rasa dalam bingkai sistem budaya.
Sebagai sebuah makrokosmos, alam adalah pelindung bagi keseluruhan manusia yang adalah makluk mikrokosmos. Relasi makro-mikro dalam terminologi kekuasaan tradisonal harus mengedepankan keseimbangan. Keseimbangan adalah kata kunci terselenggaranya tata kelola alam-manusia secara baik. Ketika manusia menghormati alam bukan berarti manusia itu menyembah alam. Tetapi memperlakukan alam secara baik.
Mbah Maridjan adalah contohnya. Ia warga biasa namun sedemikian popular melampaui perkiraan ketika gunung Merapi menjadi sorotan. Sebagian orang menganggap ia aneh. Ketika dilarang mendekati gunung dan polisi terus menjaganya, malah juru kunci gunung Merapi ini raib. Dua hari kemudian dia turun dengan berita bahwa mbah Merapi belum meletus, namun bencana kemungkinan berasal dari selatan. Akal sehat sebagian orang akan berpikir, siapa orang ini. Tetapi ia tidak terlampau menghiraukan. Baginya Merapi ibarat makluk, itu sebabnya seolah-olah ia bisa berkomunikasi.
Memahami pola hubungan kekuasaan di Indonesia sejatinya tidak sulit juga tidak mudah. Nilai-nilai rasionalitas dan obyektifitas ternyata tidak sepenuhnya dapat dijadikan instrumen mengukur validitas dan reliabilitas sesuatu. Ada tolok ukur lain yang melampaui ukuran-ukuran normal. Nyata ada, dapat dikatakan tetapi tidak bisa dijelaskan dan semua orang diharap maklum.
Fenomena alam marah lima tahun beruntun tsunami Aceh (2004), gempa Nias (2005) dan gempa Yogya (2006), hingga Situ Gintung ambrol (2009) adalah isyarat alam. Untuk tiga kasus pertama ini peneliti gempa pasti dengan mudah menjelaskan jika ini terjadi karena tabrakan dua lempeng Australia dan Asia yang secara periodik berlangsung sekian ratus tahun sekali. Bahwa mengapa lokasi yang dipilih adalah dua daerah istimewa, jelas akan diargumentasi dengan penjelasan normatif. Memang pertemuan dua lempeng itu berdekatan dengan kedua daerah tersebut. Titik. Tidak ada diskusi lanjutan.
Sementara untuk kasus Situ Gintung, justru diolah sedemikian rupa oleh para elite sebagai pencitraan partai dan personal menjelang Pemilu Legislatif (9 April 2009) dan Pemilihan Presiden (8 Juli 2009). Karena semua media terkonsentrasi ke wilayah ini, maka hampir tidak ada satupun elite politik yang tidak menaruh ’kepeduliannya’. Keberpihakan seolah-olah kepada rakyat semakin diintensifkan sebagai manifestasi sketsa komunikasi politik yang sedang dimainkan. Maka jangan heran jika bantuan yang datang banyak yang berkemasan merk bendera parpol tertentu. Itu juga pasti diperhitungkan para parpol agar sumbangan yang dihibahkan bertitik temu dengan pilihan suara yang bakal dicontrengkan pada pemilu bulan April dan Juli 2009.
Harus diakui, bahwa di Indonesia saat ini dalam membaca apapun peristiwa alam tidak bisa hanya dengan optik tunggal. Jika itu yang terjadi, justru akan menghasilkan bacaan yang salah. Dalam perspektif komunikasi politik semua peristiwa sealur atau jutru saling berpapasan selalu punya makna-makna simbolik yang perlu kejelasan interpretasi. Mestinya semua bisa diurai secara proporsional.
Namun yang terjadi banyak logika yang tersesat (disesatkan) bukan karena kecerdasan intelektualitas tetapi justru terjebak dalam perangkap emosionalitas dan sentimentalitas. Sebagian besar kita bertindak bukan apa yang dipikir tetapi apa yang dirasa. Jika masyarakat jauh mengedepankan rasa dan tidak rasio, sewajarnyalah masyarakat juga mereproduksi pemimpin yang dominan rasa ketimbang rasio.
Penutup
Indonesia sekarang memang bukan kerajaan Mataram tempo dulu apalagi bagian dari Sunda Nusantara. Kekuasaan adalah pengejawantahan sistem demokrasi. Itu sebabnya penerima mandat kekuasan bukan karena diberi tetapi diperjuangkan via Pemilu. Karena hasil sebuah perjuangan, maka penerima harus melaksanakannya sebagai sebuah amanat agung yang mesti dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab.
Bahwa dalam melaksanakan kekuasaan alam marah dan tidak bersahabat dalam rupa bencana banjir, KA tabrakan, longsor, pesawat jatuh, kapal tenggelam bahkan gempa dan tsunami, semua itu mesti diterima dalam satu keyakinan iman bahwa Tuhan pasti punya rencana terbaik untuk umatnya. Tidak sehasta pun manusia dapat menambah umurnya jika Tuhan yang memiliki hidup ini tidak menghendaki.
Demokrasi adalah pintu kesetaraan dan jalan kesejajaran. Jika ingin berkuasa tidak perlu meniru gaya Ken Arok membunuh Tunggul Ametung penguasa Kerajaan Singosari. Tidak perlu pula menunggu pulung jatuh dari langit seperta era raja-raja Mataram. Atau tergesa-gesa mengganti namanya menjadi berakhiran NE atau NO. Yang dibutuhkan sekarang adalah mandat rakyat. Pulungnya adalah wahyu yang diwejawantahkan dalam amanat dan pilihan rakyat.
Dalam situasi yang sulit pasca kemelut ekonomi dan krisis keuangan global saat ini, datangnya berbagai bencana mesti ditangkap dalam spirit untuk ingat dan semakin mendekat kepada Tuhan. Kita kokohkan semangat solidaritas sebagai sebuah ‘nation state’ di atas pilar pluralitas baik etnik, agama, ras dan golongan. Jangan saling menghakimi. Kita ikat spirit kekeluargaan berbangsa dalam ikatan saling menopang. Jika semua dapat dirasakan oleh seluruh komponen anak bangsa, percayalah damai akan tumbuh di bumi pertiwi ini dan keadilan akan menjenguk dari angkasa Indonesia.
Referensi
David C.Korten, 1984. Pembangunan Yang Memihak Rakyat, Kupasan Tentang Teori dan Metode Pembanguan, Jakarta : LEMBAGA STUDI PEMBANGUNAN
Pathak, Ajit, 2005. Natural Disaster NewDelhi: PR Society Publication
Kamis, 03 Desember 2009
Dilema Interaksi Serumpun dan Komunikasi Biner
Oleh Gatut Priyowidodo
TIDAK tanggung-tanggung, Dr. Mahatir Muhamad mantan Perdana Menteri Malaysia bereaksi keras atas aksi Sapu Malaysia (Sweeping) yang dilakukan sekelompok pemuda yang menamakan dirinya Bendera (Utusan Online, 12 September 2009).
Aksi diplomasipun segera dilakukan Menlu Malaysia YB Datuk Anifah Haji Aman yang sampai memanggil Duta Besar RI untuk Malaysia Da’i Bachktiar di Kuala Lumpur, guna klarifikasi soal ini. Bahkan karena menganggap issu ini sensitif, serta bisa menggiring problem yang lebih serius, Menlu Malaysiapun secara khusus bakal menemui Menlu Hassan Wirajuda di Jakarta.
Sekalipun Indonesia melihat, aksi sporadis ini bersifat provokatif dan tidak merepresentasikan mayoritas suara publik, tetap saja pemerintah harus cermat dan hati-hati mengontrol perkembangan. Apakah sikap demi harmoni warga serumpun, seranting lebih tinggi ketimbang martabat bangsa ataukah justru terbaca adanya kekuatan sipil yang mengumpan kegaduhan politik domestik menjelang demisioner pemerintahan?
Membuka Luka Lama
Relasi dan interaksi politik dua negara serumpun ini, memang selalu mengalami irama pasang surut. Klimaksnya, terjadi ketika PM Soebandrio mengumumkan perang dengan Malaysia pada 20 Januari 1963. Tiga bulan kemudian, tepatnya 12 April, pasukan para militer (sukarelawan) bergerak tangkas dan sudah memasuki wilayah Sabah dan Sarawak untuk aksi propaganda, sabotase dan penyerangan.
Pada tataran indoktrinasi, Presiden Soekarno mengumandangkan instruksi Dwikora yang berisi pertinggi ketahanan revolusi Indonesia serta bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia.
Tentu saja, gelegar spirit revolusioner tersebut ibarat gayung bersambut. Presiden Soekarno yang merasa jatidirinya terhina dina oleh ulah demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, ledakan amarah Soekarno terhadap Malaysia kian menemukan aktualisasi.
Ia tak pernah gigrik untuk penghinaan simbol martabat negara. Bahkan ketika negara yang dimusuhi ini akhirnya diterima PBB pada 20 Januari 1965, Indonesia memilih lebih baik keluar dari asosiasi tersebut. Mendirikan PBB tandingan dengan nama Conefo dan Olimpiade tandingan-Ganefo. Indonesia adalah negara yang punya martabat dan bukan boneka. Sayang, ketika martabat itu kembali dikoyak, para pemimpin Indonesia selanjutnya lebih pandai berkompromi daripada beraksi. Hingga kemudian solah-olah tenggelam dalam percaturan regional satu kawasan, apalagi diperhitungkan dilevel global.
Fakta Telah Berubah
Diakui atau tidak, menatap Malaysia kini, tentu tak bisa mengandalkan perspektif sejarah masa silam. Jika kala itu Bung Karno merasa tak nyaman dengan Malaysia yang dianggap boneka Inggris, empat dekade kemudian kekuatiran itu mesti dienyahkan. Malaysia tumbuh begitu dinamis, jauh melampaui negara yang dulu pernah mau mengganyangnya. Income perkapita Malaysia (2008) US$ 7.800, sementara Indonesia berkisar US$2.200. Perbandingan itu tentu saja tidak adil, jika dipertautkan dengan jumlah penduduk dan keluasan geografis. Indonesia mengurusi 230 juta jiwa, sedang negeri Jiran tersebut hanya 27 juta. Tentu saja itu sangat berimplikasi dengan tingkat pendapatan perkapitanya. Baik jika itu yang dipersoalkan. Tetapi sesungguhnya, Malaysia memang sejak awal telah memiliki skema pembangunan nasional yang jelas. Hingga tahun 2010 nanti, ada tiga tahapan yang secara konstan harus dilewati. Pertama periode NEP -New Economy Policy, 1971-1990; kedua NDP-the National Development Policy, 1990-2000 dan ketiga, NVP-the National Vision Policy, 2001-2010 (Jawan, Malaysian Politic & Government,2008).
Indonesia sejatinya juga tidak kalah. Kita punya Pelita, Repelita dan PJP, tapi sejak reformasi semua seolah-olah tertanggal dari pertautannya. Tahapan apa dan jenjang pencapaiannya bagaimana, seakan samar tertelan dinamika politik partisan yang amat gempita. Tiba-tiba tanggal 22 Maret 2007 muncul gagasan Visi Indonesia 2030 yang disampaikan Yayasan Indonesia Forum, bahwa jika kita taat pada tiga keharusan yakni ekonomi berbasis keseimbangan pasar, pembangunan berbasis SDA, manusia, modal dan teknologi yg berkulitas, serta perekonomian yang terintegrasi dengan kawasan sekitar dan global, maka Indonesia bakal masuk 5 negara besar dan berincome perkapita US$ 18.000 (Kompas, 23 Maret 2007).
Terus terang, hingga dua tahun setelah itu, saya kerap lama tertegun, dan merenungkan, realistiskah gagasan imajiner tersebut. Mengapa koq tidak lembaga sekaliber Bappenas yang punya rancang bangun sevisioner itu? Malaysia dengan konstelasi politik yang relatif stabil serta skema pembangunan yang jelas dalam kurun 40 tahun saja hanya mampu mencapai kisaran perkapita US$ 8000, Indonesia yang start dengan angka US$ 2000-an, duapuluh tahun kedepan, apa iya bisa mencapai lompatan sembilan kali?
Introspeksi Diri
Belum juga kita beranjak memahami visi 2030 itu agar membumi, energi kita terus dikuras dengan berbagai issu yang tidak masuk agenda. Kali ini, klaim Malaysia atas warisan budaya Indonesia. Bahkan sudah berulang-ulang kali. Sejak tahun 1957 (Terang Bulan) hingga 2009 (Tarian Pendet dan Tenun ikat Sambas) sudah ada sekurangnya 24 items yang diklaim sebagai warisan budaya mereka. Maka jangan heran jika ke depan nanti masih ada lagi klaim-klaim serupa. Masalahnya, apakah setiap kali warisan itu direkognisi mereka, lalu respon kita kemudian panik dan mensweeping? Bukannya kemudian instropeksi diri, adakah yang kurang pas dengan proteksi warisan budaya dan keterbukaan komunikasi lintas generasi yang masih terhitung satu sanak ini?
Koeksistensi dalam damai jauh lebih baik daripada menukar dengan spirit permusuhan. Ingat, 2,2 juta TKI ada di negeri ini dan 8000 orang hidup dalam terali penjara sebagai ’banduan”. Justru yang perlu didorong adalah bagaimana dua pemerintahan terus melakukan dan mengintensifkan komunikasi politik dua arah (biner) yang saling kooperatif dan bisa memberi perlindungan TKI disana agar terhindar dari korban kekerasan dan eksploitasi. Untuk sementara serahkan dulu kepada Eminent Person Group (EPG) Indonesia-Malaysia yang bakal mengkaji semua issu dua negara ini secara serius.. Saudaraku calon sukarelawan, berpikirlah dengan tenang, dengarkan kata hati, jangan emosi !
oooOOOooo
TIDAK tanggung-tanggung, Dr. Mahatir Muhamad mantan Perdana Menteri Malaysia bereaksi keras atas aksi Sapu Malaysia (Sweeping) yang dilakukan sekelompok pemuda yang menamakan dirinya Bendera (Utusan Online, 12 September 2009).
Aksi diplomasipun segera dilakukan Menlu Malaysia YB Datuk Anifah Haji Aman yang sampai memanggil Duta Besar RI untuk Malaysia Da’i Bachktiar di Kuala Lumpur, guna klarifikasi soal ini. Bahkan karena menganggap issu ini sensitif, serta bisa menggiring problem yang lebih serius, Menlu Malaysiapun secara khusus bakal menemui Menlu Hassan Wirajuda di Jakarta.
Sekalipun Indonesia melihat, aksi sporadis ini bersifat provokatif dan tidak merepresentasikan mayoritas suara publik, tetap saja pemerintah harus cermat dan hati-hati mengontrol perkembangan. Apakah sikap demi harmoni warga serumpun, seranting lebih tinggi ketimbang martabat bangsa ataukah justru terbaca adanya kekuatan sipil yang mengumpan kegaduhan politik domestik menjelang demisioner pemerintahan?
Membuka Luka Lama
Relasi dan interaksi politik dua negara serumpun ini, memang selalu mengalami irama pasang surut. Klimaksnya, terjadi ketika PM Soebandrio mengumumkan perang dengan Malaysia pada 20 Januari 1963. Tiga bulan kemudian, tepatnya 12 April, pasukan para militer (sukarelawan) bergerak tangkas dan sudah memasuki wilayah Sabah dan Sarawak untuk aksi propaganda, sabotase dan penyerangan.
Pada tataran indoktrinasi, Presiden Soekarno mengumandangkan instruksi Dwikora yang berisi pertinggi ketahanan revolusi Indonesia serta bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia.
Tentu saja, gelegar spirit revolusioner tersebut ibarat gayung bersambut. Presiden Soekarno yang merasa jatidirinya terhina dina oleh ulah demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, ledakan amarah Soekarno terhadap Malaysia kian menemukan aktualisasi.
Ia tak pernah gigrik untuk penghinaan simbol martabat negara. Bahkan ketika negara yang dimusuhi ini akhirnya diterima PBB pada 20 Januari 1965, Indonesia memilih lebih baik keluar dari asosiasi tersebut. Mendirikan PBB tandingan dengan nama Conefo dan Olimpiade tandingan-Ganefo. Indonesia adalah negara yang punya martabat dan bukan boneka. Sayang, ketika martabat itu kembali dikoyak, para pemimpin Indonesia selanjutnya lebih pandai berkompromi daripada beraksi. Hingga kemudian solah-olah tenggelam dalam percaturan regional satu kawasan, apalagi diperhitungkan dilevel global.
Fakta Telah Berubah
Diakui atau tidak, menatap Malaysia kini, tentu tak bisa mengandalkan perspektif sejarah masa silam. Jika kala itu Bung Karno merasa tak nyaman dengan Malaysia yang dianggap boneka Inggris, empat dekade kemudian kekuatiran itu mesti dienyahkan. Malaysia tumbuh begitu dinamis, jauh melampaui negara yang dulu pernah mau mengganyangnya. Income perkapita Malaysia (2008) US$ 7.800, sementara Indonesia berkisar US$2.200. Perbandingan itu tentu saja tidak adil, jika dipertautkan dengan jumlah penduduk dan keluasan geografis. Indonesia mengurusi 230 juta jiwa, sedang negeri Jiran tersebut hanya 27 juta. Tentu saja itu sangat berimplikasi dengan tingkat pendapatan perkapitanya. Baik jika itu yang dipersoalkan. Tetapi sesungguhnya, Malaysia memang sejak awal telah memiliki skema pembangunan nasional yang jelas. Hingga tahun 2010 nanti, ada tiga tahapan yang secara konstan harus dilewati. Pertama periode NEP -New Economy Policy, 1971-1990; kedua NDP-the National Development Policy, 1990-2000 dan ketiga, NVP-the National Vision Policy, 2001-2010 (Jawan, Malaysian Politic & Government,2008).
Indonesia sejatinya juga tidak kalah. Kita punya Pelita, Repelita dan PJP, tapi sejak reformasi semua seolah-olah tertanggal dari pertautannya. Tahapan apa dan jenjang pencapaiannya bagaimana, seakan samar tertelan dinamika politik partisan yang amat gempita. Tiba-tiba tanggal 22 Maret 2007 muncul gagasan Visi Indonesia 2030 yang disampaikan Yayasan Indonesia Forum, bahwa jika kita taat pada tiga keharusan yakni ekonomi berbasis keseimbangan pasar, pembangunan berbasis SDA, manusia, modal dan teknologi yg berkulitas, serta perekonomian yang terintegrasi dengan kawasan sekitar dan global, maka Indonesia bakal masuk 5 negara besar dan berincome perkapita US$ 18.000 (Kompas, 23 Maret 2007).
Terus terang, hingga dua tahun setelah itu, saya kerap lama tertegun, dan merenungkan, realistiskah gagasan imajiner tersebut. Mengapa koq tidak lembaga sekaliber Bappenas yang punya rancang bangun sevisioner itu? Malaysia dengan konstelasi politik yang relatif stabil serta skema pembangunan yang jelas dalam kurun 40 tahun saja hanya mampu mencapai kisaran perkapita US$ 8000, Indonesia yang start dengan angka US$ 2000-an, duapuluh tahun kedepan, apa iya bisa mencapai lompatan sembilan kali?
Introspeksi Diri
Belum juga kita beranjak memahami visi 2030 itu agar membumi, energi kita terus dikuras dengan berbagai issu yang tidak masuk agenda. Kali ini, klaim Malaysia atas warisan budaya Indonesia. Bahkan sudah berulang-ulang kali. Sejak tahun 1957 (Terang Bulan) hingga 2009 (Tarian Pendet dan Tenun ikat Sambas) sudah ada sekurangnya 24 items yang diklaim sebagai warisan budaya mereka. Maka jangan heran jika ke depan nanti masih ada lagi klaim-klaim serupa. Masalahnya, apakah setiap kali warisan itu direkognisi mereka, lalu respon kita kemudian panik dan mensweeping? Bukannya kemudian instropeksi diri, adakah yang kurang pas dengan proteksi warisan budaya dan keterbukaan komunikasi lintas generasi yang masih terhitung satu sanak ini?
Koeksistensi dalam damai jauh lebih baik daripada menukar dengan spirit permusuhan. Ingat, 2,2 juta TKI ada di negeri ini dan 8000 orang hidup dalam terali penjara sebagai ’banduan”. Justru yang perlu didorong adalah bagaimana dua pemerintahan terus melakukan dan mengintensifkan komunikasi politik dua arah (biner) yang saling kooperatif dan bisa memberi perlindungan TKI disana agar terhindar dari korban kekerasan dan eksploitasi. Untuk sementara serahkan dulu kepada Eminent Person Group (EPG) Indonesia-Malaysia yang bakal mengkaji semua issu dua negara ini secara serius.. Saudaraku calon sukarelawan, berpikirlah dengan tenang, dengarkan kata hati, jangan emosi !
oooOOOooo
Langganan:
Postingan (Atom)