Kamis, 22 Januari 2009

Budaya Patriarkhi dan Politik di Indonesia

Oleh Gatut Priyowidodo

Politik adalah belantara kekuatan dan kekuasaan. Pada kekuatan siapapun bisa memainkan kartu kekuasaan. Sejarah politik memang menerakan catatan pergulatan panjang pertarungan antarpemilik kekuatan untuk merebut kekuasaan. Sesungguhnya tidak ada diskriminasi jender di sana. Siapapun dia asal memiliki kapabilitas merebut sumber-sumber produksi kekuatan tersebut, dia berhak menjadi penguasa. Ratu Shima yang berkuasa di Kerajaan Kalingga (Jepara) dan Tribuanatungga Dewi (ibunda Raja Hayam Wuruk) yang berkuasa di Majapahit adalah perempuan-permpuan yang secara tangguh mampu menerobos dominasi kultur patriarkhi pada jamannya. Mereka bisa membuktikan keperkasaaannya bukan hasil belas kasihan namun karena eksistensi dan kapabilitas personalnya yang teruji.
Sungguhpun demikian, ternyata waktu bergerak pasang surut mengikuti iramanya sendiri. Ada kalanya muncul perempuan-perempuan perkasa pendobrak jamannya seperti Ratu/Sulthanah Nihrasyiah Rawangsa Kadiyu (1400-1427), Ratu Taj al-’Alam Safiatuddin(1641-1675) anak Sultan Iskadar Muda, Ratu Nur al-‘Alam Naqiat ad-Din Syah (1675-1678), Ratu Zakiyat ad-Din Inayat Syah (1678-1688) dan Ratu Kumalat Syah (1688-1699) yang kelima-limanya ratu di kerajaan Islam Aceh. Pada masa Islampun dikenal ada Ratu Kaliyamat yang berkuasa pada jaman Kerajaan Demak Bintara abad 16. Hingga kemudian kita memasuki era Nyi Ageng Serang, RA Kartini hingga menembus jaman reformasi dan bertemu Megawati Soekarnoputri (2001-2004) sang Presiden RI perempuan pertama.
Menyimak kilasan waktu tersebut, muncul perasaan gamang untuk kemudian menginspirasi dan bertanya; ada apa dengan perempuan Indonesia modern? Yang sejatinya sudah kenyang pengalaman dari aneka warna petualangan panjang para guru hebat perempuan di panggung politik nusantara?

Perempuan di Ranah Politik
Pertanyaan mengusik perasaan tersebut, bukannya tanpa alasan. Hingga saat ini diakui atau tidak, masa kejayaan pemimpin politik perempuan memasuki era yang amat buram. Seolah tidak ada keberpihakan yang sengaja diberikan dalam perebutan akses sumber-sumber produktif kekuasaan politik. Pencitraan negatif pemimpin politik perempuan terus dihembuskan, guna menangkal dan menghempaskan sejak dini, peluang yang kemungkinan hendak diraih politisi perempuan ini.
Rute panjang yang dilewati Megawati baik selaku calon ketua parpol, maupun penguasa negeri ini seakan mengafirmasi contoh kasus di atas. Mungkin belum ada ketua parpol politik perempuan di Indonesia modern yang mengalami resistensi sepelik dia. Terlepas bahwa ia kerapkali diragukan kapabilitasnya, hingga saat ini berbagai jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei selalu menempatkan Mega dan SBY saling kejar mengejar dalam urutan popularitas.
Intinya yang hendak dikatakan adalah bahwa partai politik apapun lebelnya sekarang ini telah mengalami keterputusan dalam menjalin keberlajutan pemimpin politik perempuan sekaliber dia. Memang ada Meutia Hatta (Ketua PKP Indonesia), Sukmawati Soekarnoputri (Ketua PNI Pancasila), Amelia Yani (Ketua PPRN), Engelina H Pattiasina (Ketua PPB), Hj Mentik Budiwiyono (Ketua PDI) maupun Camelia Malik (Wakil Ketum Partai Patriot), namun semua orang maklum masih dan sudah berapa lama jam terbang mereka.
Kepemimpinan politik bukanlah pekerjaan tata kelola organisasi mirip perusahaan industri atau jasa. Ia memiliki dinamika dan budaya organisasi yang unik. Dimana setiap elemen tidak hanya harus saling mendukung namun juga terikat dalam idealisme-idealisme ideologis kepartaian yang bertindak sebagai roh yang menggerakan organisasi itu agar nampak bernyawa.
Itu sebabnya jangan heran jika banyak tokoh yang berhasil di dunia birokrasi, militer bahkan bisnis ketika harus tampil memimpin sebuah partai menjadi kedodoran dan diabaikan kepemimpinannya. Di partai politik tidak mengenal tongkat komando (kecuali Partai Komunis, dengan politbironya), segala keputusan hampir selalu dipikir secara cermat dengan masukan banyak pihak. Mengelola beragam kepentingan seperti ini, jelas tidak mudah.
Bahwa ada individu-individu yang punya kemampuan lebih dan kapasitas organisatoris yang baik, itupun bukan hasil output institusi pendidikan. Juga tidak terkait jenis jender tertentu. Apapun jendernya, bila kualifikasi personal itu terpenuhi, sesungguhnya syarat untuk memimpin partai sudah digengamnya. Tergantung kemudian, bagaimana polity (masyarakat politik) menyambut leadership yang ditampilkan. Tentu, cakupan ini harus sudah menjangkau mistar di luar otoritas internal partainya.
Bisa dicermati bahwa dari periode ke periode, ternyata institusi-institusi sosial dan politik yang ada di negeri ini tidak banyak yang mampu mereproduksi pemimpin politik perempuan. Pemilu 2009 ini dari 44 partai politik peserta pemilu (38 parpol nasional dan 6 partai lokal Aceh) hanya ada 6 parpol yang dipimpin perempuan. Lebih tragis lagi pemilu sebelumnya hanya ada dua parpol yang ketua umumnya perempuan.
Spektrum ideologi, jujur diakui atau tidak kiranya juga berpengaruh dalam kontestasi internal partai. Baik dari enam parpol (2009) maupun dua parpol (2004 dan 1999) yang menduduki posisi ketua partai politik adalah partai yang berideologi nasionalis. Belum (mungkin masih dalam proses) parpol yang berspektrum ideologi islamis masih agak alergi untuk mengusung pemimpin perempuan sebagai pemegang kendali nomor satu partai. Tertinggi jabatan perempuan dipegang Zannuba Arifah Chafsoh sebagai Sekjen PKB (itupun dari PKB yang tidak boleh ikut Pemilu).
Tentu ini tidak hendak mengatakan bahwa di kalangan partai politik Islam kekurangan stok kader pemimpin perempuan, namun lebih kepada bagaimana atmosphere politik dari setiap parpol Islam tersebut mengapresiasi kemampuan-kemampuan lebih para kadernya. Setiap parpol pasti memiliki aturan main, maka berdasarkan aturan main itulah semua akan dijalankan.
Kader-kader parpol perempuan tidak sedikit yang lebih handal dalam mengartikulasi dan mengagregasikan kepentingan-kepentingan rakyat yang merupakan basis konstituennya. Namun seringkali harus tenggelam di tengah keriuhan dan hiruk pikuk politik yang serba maskulinitas.
Mengapa tenggelam? Karena di lembaga legislative kuantitas mereka juga tidak banyak. Dari yang tidak banyak tersebut ditingkahi pula oleh perilaku media yang kerapkali menjadikan para legislator laki-laki yang lebih bersuara. Media mungkin juga tidak bisa disalahkan, karena mereka tentu akan mencari narasumber yang secara kualitas mampu membongkar berbagai issue-issue sensitif di seputar implementasi kebijakan eksekutif. Tentu saja, jika mereka (para politisi perempuan) ini tidak memiliki bahan yang bisa ‘dijual’ media, pihak pers juga akan kesulitan menempatkan engle apa yang hendak diberitakan. Maka tidak ada pilihan lain, untuk memperbanyak narasumber legislator perempuan harus ada terobosan kongkrit keterwakilan perempuan di parlemen mesti ditambah. Jika melalui kuota 30 % nanti tetap saja belum tercapai atau masih minim, ide anggota parlemen yang diangkat berdasarkan kekaryaan di luar jalur partai, harus dimungkinkan untuk dibuka.


Keterwakilan Bukan Sekedar Angka
Dari periode ke periode jumlah legislator perempuan memang tidak pernah menunjukan peningkatan yang signifikan. Periode 2004-2009 ini saja jumlah perempuan yang duduk di pralemen hanya 61 orang (11,3%) dari 550 anggota DPR. Tentu angka tersebut lebih baik dari periode sebelumnya (1999-2004) yang hanya kurang dari 10 % yakni 46 angggota dari 500 atau 9,2 %. Sebuah penurunan dibanding jumlah anggota DPR periode 1997-1999 yang mencapai angka 56 atau 11,2 % dari 500 anggota. Dan penurunan lagi dari periode 1992-1997 yang mencapai angka 60 orang (12) dari total 500 anggota dewan. Berikut adalah table yang menunjukan angka-angka tersebut :


Tabel Anggota Dewan Perempuan
Berdasarkan Periode Masa Bakti

Masa Bakti Jumlah Anggota DPR RI Jml Anggota Perempuan Prosentase
2004-2009 550 61 11,3%
1999-2004 500 46 9,2 %
1997-1999 500 56 11,2 %
1992-1997 500 60 12 %

Perkembangan yang tidak jauh beda bisa dicermati pula di level DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Angka yang ditunjukan juga tidak jauh-jauh amat.
Spirit berbeda ditunjukan oleh UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dimana secara tegas dimuat pada Pasal 8 Ayat 1 Huruf d yang mengatur ketentuan agar parpol minimal menyertakan 30 persen di kepengurusan di tingkat pusat. Begitu pula pada pasal 53 dan 55 (2) secara jelas juga mengatur keterwakilan perempuan tentang daftar calon anggota dewan yang mesti memuat sekurang-kurangnya satu orang pada setiap tiga bakal calon.
Sayang memang sekalipun semangat undang-undang tersebut baik, ternyata KPU ketika mengetahui ada enam parpol yang tidak memenuhi unsur 30 % dalam pengumuman DCT (29/10/2008) tersebut juga tidak berbuat apa-apa. Enam partai politik tersebut dapat dilihat pada table berikut :

No. Nama Partai Politik Jumlah Prosentase
1. Partai Patriot 23 19,66
2. Partai Peduli Rakyat Nasional 75 26,04
3. PPP 127 26,91
4. Gerindra 116 29,29
5. PAN 117 29,70
6. Partai RepublikaN 69 29,87

Sejumlah partai menurut Fitriyah (2009) juga tidak melaksanakan ketentuan penempatan minimal satu perempuan pada setiap tiga urutan calon, antara lain Partai Golkar di empat dapil DPR, PKB di tujuh dapil, PPP di 25 dapil, Partai Demokrat di satu dapil, PKS di empat dapil, dan PAN di 11 dapil. Hal itu menunjukkan upaya mendorong perempuan hadir di lembaga perwakilan melalui intervensi UU belum sepenuhnya diikuti dengan komitmen partai-partai peserta pemilu. Jumlah perempuan dalam DCT DPR Pemilu 2009 sebanyak 3.910 orang. Dari jumlah itu hanya 12,7 persen yang berada di nomor urut satu, 19,46% di nomor urut dua, dan 25,93% di nomor urut tiga; sisanya kebanyakan di nomor urut enam dan sembilan.
Sesungguhnya pasca putusan MK tanggal 23 Desember 2008 tentang dikabulkannya gugatan uji materiil atas pasal 214 huruf a,b,c,d dan e UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu maka penetapan calon anggota legislative pada pemilu 2009 tidak lagi berdasarkan nomor urut namun digantikan dengan suara terbanyak. Dengan demikian di nomor berapapun caleg perempuan ditempatkan asal didukung oleh banyak pemilih tetap akan terpilih. Oligarkhi partai telah tergantikan dengan kedaulatan rakyat.
Sinyal baik ini bukan tidak membawa implikasi, namun justru di sana pertempuran sesungguhnya antar caleg itu semakin ganas. Keterwakilan individu (perempuan atau laki-laki) di DPR tidak lagi mempertimbangkan apakah dia berjasa,bekerja keras untuk partai sebagai sebuah institusi atau tidak sama sekali, menjadi tidak penting. Masing-masing individu akhirnya hanya membutuhkan parpol sebatas kendaraan politik yang bersifat administrative.
Jangan terkejut jika nanti diantara 560 anggota DPR yang terpilih dan 2000-an anggota DPRD Provinsi dan dua kali lipatnya anggota DPRD Kabupaten/Kota akan bermunculan nama-nama yang rajin mensosialisasikan dirinya secara personal dengan berbagai wahana. Pilihannya bisa iklan media cetak, baliho, poster, iklan elektronika, penyebaran pamlet hingga kampaye door to door. Semua tergantung pada kesiapan anggaran yang dikantongi para caleg. Apakah semua itu sudah mengarah ke komersialisasi hukum dagang, dinama semakin banyak modal diinvestasikan akan semakin memperbesar pangsa pasar? Logika itupun tak terbantahkan.

Penutup
Keputusan politik selalu berimplikasi dan berresiko. Sebaik apapun desain yang direncanakan dalam berbagai regulasi selalu ada celah yang memungkinkan bagi setiap pelaku untuk memanfaatkannya. Itu sebabnya setiap peraturan selalu mesti disemangati untuk merekonstruksi kehidupan politik kemasyarakatan yang lebih baik.
Dinamika kepartaian di era demokrasi sekarang ini, jelas menuntut kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Namun jika kemudian dengan segala intervensi peraturan perundang-undangan perempuan tetap tidak bisa mengejar kuota hasil amanat undang-undang, itupun harus diterima dengan lapang hati.
Politik adalah kawasan yang penuh semak, tikungan bahkan medan terjal yang apapun bisa terjadi. Logika-logika ilmiah kadang mesti bertekuk lutut di kaki keputusan politik. Terserah kita kemudian, akan membangun kehidupan politik yang mengedapankan akal budi, hati dan rasio ataukah justru menggilasnya bersamaan. Dominasi patriarkhis mesti diruntuhkan dengan bekerja keras, pantang menyerah dan semangat untuk maju para caleg perempuan itu sendiri.

Referensi
Indria Samego, “Berbagai Upaya Memburu Suara” Koran Digital, 12 Januari 2009
Fitriyah, “Perempuan di Pemilu 2009”, Suara Merdeka (Wacana), 15 Januari 2009
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum