Jumat, 28 November 2008

Pluralitas Agama


AGAMA DAN MASYARAKAT
(Memahami Relijiusitas dan Sekularisme Perilaku Beragama Pada Masyarakat Plural di Indonesi)

Oleh Gatut Priyowidodo
[1]
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UK Petra

Terlebih dulu harus dipahami bahwa dalam perspektif ilmu-ilmu sosial menurut Surbakti[2] sekurangnya ada lima kategori untuk bisa memahami agama yakni pertama, dengan memperlakukan agama sebagai fakta sosial (kenyataan empirik yang bersifat material ataupun non material tetapi mengatasi individu untuk kemudian mempertanyakan fungsinya (akibat, konskwensi atau efeknya) terhadap fakta sosial lain seperti integrasi nasional, demokrasi dan pranata politik lainnya (perspektif Durkheimian).
Kedua, dengan memahami agama sebagai tindakan sosial yaitu tidakan yang mempunyai makna (bertujuan) bagi pelakunya tetapi dipengaruhi oleh dan atau mempengaruhi orang lain (perspektif Weberian). Ketiga, dengan memandang agama sebagai instrumen untuk mencari, mempertahankan dan membenarkan kepentingan ekonomi mereka yang memiliki alat dan sarana produksi atau agama sebagai reproduksi hubungan produksi. Keempat, dengan menafsirkan agama sebagai sumber preskripsi tentang masyarakat, negara dan warga (beserta hubungan ketiganya) yang dicita-citakan. Kelima, dengan mengkaji agama dari dimensi kekuasaan (religio-political power) .
Bertolak dari lima kategorisasi kajian agama tersebut, maka titik tekan pembahasan tema di atas berkecenderungan dengan teoritisasi struktural-fungsional. Asumsi dasar pendekatan struktural-fungsional adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap lainnya. Pusat perhatiaan pendekatan ini adalah kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan. Emile Durkheim, Robert K. Merton[3] yang adalah pentolan teori ini berpendapat bahwa obyek pendekatan ini adalah fakta sosial seperti : pranata sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial dan sebagainya.
Teori ini dinilai amat ideologis dan konservatif, sebab amat menekankan keteraturan (order). Tetapi tetap mengakui jika struktur masyarakat itu selalu berubah, namun perubahan yang terjadi adalah secara berangsur-angsur dan tetap memelihara keseimbangan.
Jika dikontraskan dengan teori konflik dan marxis maka sekurang-kurangnya akan terformulasi demikian; teori konflik/ marxis dalam melihat masyarakat adalah dinamis dan penuh konflik, sebaliknya teori fungsional adalah statis atau berubah namun secara gradual serta penuh keseimbangan. Setiap institusi, dalam teori konflik adalah mengkonstribusi disintegrasi begitupun pada teori marxis karena perbedaan kelas selalu akan muncul pertentangan antar kelas. Sedang bagi teori kedua adalah menyumbang adanya stabilitas. Bila dalam teori konflik/ marxis keteraturan tercipta oleh karena unsur pemaksaan dari yang berkuasa tetapi teori struktural-fungsional melihat bahwa ‘order’ itu hadir karena masyarakat terikat oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum.
Berbekal kerangka teori di atas, maka agama dalam relasinya dengan masyarakat atau dengan kata lain untuk membangun hubungan horisontal (civil dengan civil) memang tepat dikaji berdasarkan perspektif Durkhemian yang mempertanyakan what religion does dan bukannya what religion is (perspektif Weberian)[4]. Agama dalam hal ini dilihat mempunyai fungsi integrasi terhadap warga masyarakat yang berbeda latar belakang sosio -budaya dan ekonomi politik tetapi memeluk agama yang sama dan fungsi lejitimasi terhadap kekuasaan ataupun pembangunan. Atau secara khusus diberi pengertian sebagai suatu sistem yang terpadu mengenai kepercayaan-kepercayaan praktek-praktek yang berhubungan dengan benda-benda suci ... benda-benda khusus (set apart) atau terlarang -- kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatu dalam satu komunitas yang disebut umat (gereja), semuanya yang berhubungan dengan itu[5] .
Dan dengan lain perkataan meminjam istilah Benindict Anderson dan Ninian Smart[6] , agama memiliki kemampuan memerintahkan loyalitas komunal dan lejitimasi kewenangan. Sedang Clifford Geertz[7] melihat agama sebagai upaya untuk mengintegrasikan realitas hidup setiap hari dengan mengambil pola yang koheren pada level yang lebih dalam. Dan Robert Bellah[8] menambahkan bahwa agama dilihat sebagai upaya untuk memahami fenomena tertib dalam ‘resiko iman’ untuk menghadapi ketidakpastian dan ketidakmampuan memperkirakan sesuatu.

Interpertasi Agama: Ilmuwan vs Teolog
Dalam konteks Durkemian, agama memang tidak dipahami sebagaimana kaum teolog menginterpertasikannya. Yakni agama seperti penjelasan Hans Kung (1986)[9] adalah suatu realisasi sosio-individu yang hidup (dalam ajaran, tingkah laku dan ritus) dari suatu relasi dengan yang melampau kodrat manusia (Yang Kudus) dan dunianya dan berlangsung lewat tradisi manusia dan dalam masyarakatnya. Atau jika dimasukan dalam klasifikasi Smith[10] pengertian semacam itu sama dengan agama sebagai sistem keyakinan yang mengacu pada eksistensi ideologi-ideologi keagamaan, yang kira-kira merupakan batang tubuh dari doktrin agama itu. Yang tentunya penjelasan seperti itu amat berbeda dengan yang dianut kaum fungsionalis.
Menurut kalangan struktural-fungsionalis agama dipandang sebagai institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun mondial[11] . Dengan demikian agama hanya merupakan suatu bentuk tingkah laku manusia yang dilembagakan yang berada di lembaga-lembaga sosial lainnya. Atau mengikuti kategorisasi Smith lagi, dalam dimensi demikian agama dianalisis berdasarkan pengaturan kemasyarakatannya yang mengacu pada eksistensi struktur-struktur sosio-religius yang mengatur kehidupan sosial interen umat beragama bersangkutan. Dalam konteks yang hampir sama, meminjam istilah Kung[12] agama dengan ajaran-ajarannya tersebut dapat dibagi ke dalam empat peran yang terpisah yakni peran iluminatif (menerangi), profetis (kenabian), liberatif (membebaskan) dan transformatif (mengubah).
Seiring dengan diskusi di atas, secara spesifik guna lebih memahami tentang fungsi agama meurut Durkheim terlebih dulu tentunya mengemukakan dua kategori definisi dan sifat agama oleh Roland Robertson (1970) yakni inklusif dan eksklusif [13]. Definisi inklusif merumuskan agama dalam arti seluas mungkin, yang memandangnya sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan ‘kesucian’ atau yang diorientasikan kepada ‘penderitaan manusia yang abadi’. Kategori ini tidak saja melihat agama sebagai sistem-sistem yang teistik yang diorganisasi sekitar konsep tentang kekuatan supranatural tetapi juga berbagai sistem kepercayaan nonteistik seperti komunisme, nasionalisme, atau humanisme. Sebaliknya, difinisi ekslusifisme membatasi istilah agama itu pada sistem-sistem kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan atau kekuatan supranatural.
Dalam kategorisasi demikian ini menurut Robertson, pengertian agama Durkheim lebih mengacu kepada definisi inklusif. Suatu agama menurut Dukheim adalah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktek-praktek yang bertalian dengan hal-hal yang suci yakni hal-hal yang dibolehkan dan yang dilarang - kepercayaan dan praktek-praktek yang mempersatukan komunitas moral yang disebut Gereja, semua mereka yang terpaut satu sama lain. Bagi Durkheim, karakteristik agama yang penting adalah bahwa agama itu diorientasikan kepada sesuatu yang dirumuskan oleh manusia sebagai suci/ sakti, yakni obyek referensi, yang dihargai dan malah dahsyat.
Kemunculan agama menurut Durkheim[14] karena manusia hidup dalam masyarakat dan dengan demikian mengembangkan kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu sebagai akibat dari kehidupan kolektif mereka. Agama ada karena agama dapat memenuhi fungsi-fungsi sosial tertentu yang penting yang tak dapat dipenuhi tanpa agama. Peranan utamanya adalah sebagai integrator kemasyarakatan. Agama mengikat orang-orang menjadi satu dengan mempersatukan mereka sekitar seperangkat kepercayaan, nilai, dan ritual bersama. Dengan demikian agama membantu memelihara masyarakat atau kelompok sebagai suatu komunitas moral.
Sementara itu Malinowski[15] lebih menekankan bahwa fungsi agama tersebut tidak berada jauh dari tiga aspek yang terkandung dalam agama yakni dogma, ritual dan etika. Dogma dilukiskan sebagai narasi panjang berisi aturan-aturan yang memberi affirmasi (penegasan) untuk berperilaku. Ritual adalah merupakan refleksi kesadaran beragama atau perasaan beragama yang selalu berwujud penyembahan/ pemujaan. Etika adalah menekankan bagaimana ucapan dan perilaku diselaraskan untuk membangun keseimbangan hubungan dengan individu yang lain.
Hedropuspito[16], yang secara khusus mengkaji sosiologi agama melihat bahwa fungsi agama bagi manusia dan masyarakat meliputi lima hal yakni fungsi edukatif, fungsi penyelamatan, fungsi pengawasan sosial, fungsi memupuk persaudaraan dan fungsi transformatif. Fungsi edukatif dan penyelamatan yang dikemukakan Hendropuspito tersebut dalam perspektif Durkheimian lebih banyak menjelaskan agama dari dimensi sakral (sacred). Sedang tiga fungsi yang terakhir pengawasan sosial, memupuk persaudaraan dan transformatif berkecenderungan menjelaskan dimensi profan agama dalam mengatur kehidupan manusia.

Memposisikan Kejelasan Peran atau Fungsi Agama
Sejatinya tidak perlu sampai terjadi benturan apa-apa jika masing-masing pihak paham betul apa yang menjadi wilayah kewenangan atau otoritasnya. Negara memiliki kewenangan untuk mengatur terselenggaranya kehidupan bergama atas nama pemegang kekuasaan sah untuk memberikan perlindungan kepada semua agama yang dinaungi. Sementara setiap agama juga mesti secara bertanggungjawab mengatur tata kelola internal ajaran agamanya secara benar.
Eksistensi Indonesia karena manifestasi dari kontrak sosial masyarakat yang beragam agamanya. Maka jika kita mau terus melanjutkan kontrak social tersebut tidak ada pilihan lain kecuali harus saling menumbuhkan perasaan ‘sense of belonging’ terhadap Indonesia yang sesungguhnya bukan milik salah satu golongan tetapi juga milik golongan lain.
Menyeragamkan persepsi bahwa negara ini dikonstruksi dari beragam kelompok agama tetap ditempatkan sebagai ‘primus interpares” dan jangan sampai tereduksi bahwa Indonesia ini milik salah satu agama dan yang lainnya menumpang. Perilaku sabotase (dalam tanda petik), terhadap kepemilikan sah negara ini jelas menyinggung elemen kekuatan bangsa yang lain.
Implikasi lanjutan dari ketersinggungan kolektif komponenen bangsa yang lain oleh kelompok yang lain jelas sangat tidak kondusif bagi masa depan bangsa ini. Bangsa ini perlu kesatuan staminina untuk mampu keluar dari kemelut. Pertengkaran dan pertikaian kepentingan atas nama dominasi mayoritas, sesungguhnya hanya menggiring semakin terpuruknya bangsa ini.
Harus diakui, bahwa sangat tercium aroma yang kurang sedap terhadap kearah mana negara ini akan dibawa. Pelan tapi pasti elemen minoritas akan semakin termarjinalkan jika tidak ada kebesaran dan kelapangan hati pihak mayoritas untuk mengakomodasi kepentingan yang kecil.
Demokrasi bisa bertuah menyakitkan karena memang setiap kebijakan selalu diambil berdasarkan suara terbanyak. Secara matematis dan logika akan selalu terjadi bahwa pihak mayoritas yang menang, Sekalipun sesungguhnya belum ada jaminan bahwa yang mayoritas ituyang benar. Maka jika yang tidak benar itu dilakukan mayoritas maka terjadilah apa yang disebut tirani mayoritas.
Bukan karena tidak ada pertimbangan, jika para ‘founding fathers’ kita dulu memilih opsi tidak Negara agama juga tidak Negara sekuler. Artinya karena latar belakang masyarakat yang pluralistic tersebut maka konstruksi Negara ini mau tidak mau mesti menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing komponen anak bangsanya.
Ketatnya pertimbangan itulah yang selalu memberikan energi alternative, bahwa ketika kemelut mendera bangsa ini sesungguhnya bukan salah satu elemen bangsa saja yang merasakan tetapi semuanya. Jika masing masing kita merasakan bahwa susah senang kita tanggung bersama, mengapa kita harus saling menyingkirkan. Bak kata pepatah ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.
Maka tidak bisa lain Indonesia kedepan mesti direkonstruksi agar berjalan di trek yang benar. Konstitusi sebelum amademen adalah buah pikir cemerlang yang telah memberi ‘space’ yang cukup pas kearah mana sejatinya negara dan bangsa ini akan dibawa.


Pertanyaaan Yang perlu di respon:
Ayu,laura, vony,sandra,natasya,yuventa,prisilia, shena dan desy (kelompok 2) dan kelompok 3 yang belum menjawab dalam diskusi Jumat (28/11) juga bisa memberi masukan:

Apa pendapat saudara tentang pluralitas beragama dan perebutan pengaruh agama untuk kepentingan politik para elite di Indonesia?
Jelaskan berdasarkan pendapat anda
!.


[1] Drs.Gatut Priyowidodo,M.Si. Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UK Petra dan Pendiri Humanity and Social Community Studies (HSCS) Surabaya
[2] Ramlan Surbakti , Agama Dalam Perspektif Ilmu-Ilmu Sosial, Makalah Seminar Riset Hubungan Negara dan Agama Semester 3 (Surabaya: PPs-Unair , 1997)
[3] Margaret M.Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: Rajawali Pers, 1994) h.23-50.
[4] Ramlan Surbakti , “Agama .... “. hlm. 1-2
[5] ------------------ , Classical Sociological Theories - Teaching Materials From Internet (Surabaya: For Graduated Students of Social Siences University of Airlangga, tanpa tahun (1997 ?) hlm. 10
[6] Mark Jurgenmeyer, “The Religious State” in Comparative Politics, Vol.27 No.4 July 1995 p. 379-477.
[7] idem
[8] idem
[9] Hans Kung,, “The Debate of the Word Religion” Concilium Februari 1986. Dikutip dalam YB. Sudarmanto, “Agama dan Ideologi: Arah dan Prospeknya” Bina Darma Vol.10 No.39 tahun 1992 h. 60
[10] Donald Eugene Smith , Agama dan Modernisasi Politik : Suatu Kajian Analitis (Jakarta: Rajawali Pers, 1985) h.187. Dalam uraian tentang pola-pola politisasi agama ia membegi bahwa agama dapat dianalisis menjadi empat. Yakni berdasarkan identitas kelompoknya, pengaturan kemasyarakatnnya, organisasi keagamaannya dan sistem keyakinannya.
[11] D. Hendropuspito, Sosiologi Agama (Jakarta-Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, 1996) h. 29.
[12] Hans Kung, Global Responsibility : In Search of a New World Ethic (New York : Crossroad, 1991) p 55-64
[13] Stephen K.Sanderson, Sosiologi Makro Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (Jakarta: Rajawali Pers,1995) hlm.518. Atau lebih rincinya bisa dilihat pada Roland Robertson (ed.)., AGAMA: Dalam Analisa dan Interpertasi Sosiologis (Jakarta: Rajawali Pers, 1988).
[14] idem hlm.554
[15] Talcott Parsos et.al., The Theories of Society (New York : the Free Pres, 1965) hlm. 1092
[16] Hendropuspito, Sosiologi ....., hlm. 28-56

Kamis, 06 November 2008

Dari Keraton Ke Istana Merdeka


Oleh Gatut Priyowidodo
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FIKOM - UK Petra Surabaya

Simbol kemegahan kekuasaan adalah istana. Megah tidak hanya bangunan fisiknya namun juga atribut yang melekat didalamnya. Atribut itu bisa mulai dari tingkat keamanannya yang sangat high protective zone hingga yang bersifat sakral.
Itu sebabnya ketika Orde Baru berkuasa, Istana Merdeka bukan sebagai istana rakyat tetapi istana Pak Harto. Tak banyak yang bisa datang ke sana sekalipun hanya untuk menghampiri. Selain pemeriksaan yang superketat, juga hanya orang-orang yang terpilih yang bisa singgah. Tidak mengherankan, bisa masuk Istana Merdeka adalah sebuah kebanggaan sekaligus kehormatan.
Desakralisasi istana terjadi ketika Pak Harto turun tahta. Semua orang berebut ingin menjadi penguasa istana. Dari sana mesin pemerintahan di seluruh wilayah republik ini dikendalikan. Kini, belum juga pemilu dihelat orang yang sesumbar ingin berkuasa di istana pun saling bersilang kata di jalanan. Pertanyaannya mengapakah orang terlalu obsesif untuk menggapai kekuasaan?

Makna Kekuasaan
Benendict Anderson mengerti betul bahwa kekuasaan di Timur sangat berbeda dengan di Barat. Bukan hanya konseptualisasi teoritiknya namun juga ke pemberian maknanya. Kekuasaan bukan sekedar ‘how to get’ tetapi ‘how to do’. Memperlakukan kekuasaan tidak cukup sekedar menyandarkan pada apa kata konstitusi, melainkan juga merawatnya sebagai sebuah amanat yang dititipkan sang Ilahi kepadanya.
Bahwa dalam kenyataanya kerap terjadi dekonstruksi kekuasaan karena beberapa kepentingan, itu tidak lebih dari upaya sang pengemban amanat lari dari titah suci yang diterimanya. Kekuasaan menjadi sangat profan karena mengabdi pada pengemban bukan kepada pemilik. Rakyat sebagai pemilik kekuasaan termanipulasi oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang lebih dominan. Pada saat seperti ini, kekuasaan mesti dikembalikan ke fitrah awalnya.
Pengembalian kekuasaan mesti sesuai prosedur dan cara-cara yang konstitutif. Siapa yang memperoleh dukungan terbanyak pemilik amanat, ialah yang paling berhak mengembalikan arah juang kekuasaan dan duduk di kursi penguasa. Mekanisme modern merebut kekuasaan hanya satu yakni pemilu. Pemilu menjadi instrumen palih valid dan sahih meluncurkan calon penguasa menuju singgasana.
Fakta itulah yang hari-hari ini kita saksikan di media, bahwa banyak anak negeri berusaha dengan segala kemampuannya untuk meretas jalan ke istana. Dari mereka yang sama sekali orang biasa hingga yang memang sejak lahir sudah menjadi anak raja atau penguasa. Dari M. Fajroel Rahman, Rizal Malaranggeng hingga Megawati dan Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Indonesia sekarang bukanlah era Singosari ketika Ken Arok merebut kekuasaan dari Tunggul Ametung dengan cara membunuh. Atau zaman Mataram ketika Amangkurat II hendak naik takta harus terlebih dulu meracun sang ayahanda Amangkurat I.
Kekuasaan adalah ikwal yang dikontestasikan. Semua elemen anak negeri ini menjadi pewaris sah untuk bisa melanjutkan estafet pemerintahan. Tidak hanya elite yang sudah dikenal publik, juga kaum awam yang sama sekali jauh dari hingar-bingar politik pun bisa memajukan diri secara personal. Kaum Samin, Marhaein, hingga saudara kita dari suku Amungme di lembah Baliem (Papua)pun memiliki kesempatan yang sama.
Tidak itu saja. Jika di AS seorang Barak Obama yang adalah keturunan warga imigran dan berkulit hitam berupaya keras bisa menghuni White House maka di Indonesia mereka yang merasa keturunan Tionghoa pun bisa mengusulkan diri untuk dipilih. Hak dasar politik semua WNI sama, baik dipilih maupun memilih.
Hanya yang perlu dipersiapkan adalah kereta penghela. Pemilu 2009 KPU mencatat ada 38 partai politik yang siap berlaga. Tentu jika persyaratan bahwa yang berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik yang menguasai kursi 20 % di DPR atau 25 % total suara (Jawa Pos, 29 Oktober 2008), tentu tidak semua partai tersebut bisa mengusulkan calon secara sendiri-sendiri.
Harus ada kompromi yang bisa dinegosiasikan. Baik itu dalam bentuk koalisi antarpartai maupun sekedar kontrak-kontrak yang bisa menggaransi mulusnya pencalonan seorang kandidat. Terpenting dari beragam hiruk pikuk tersebut adalah pribadi calon mestinya memenuhi kualifikasi populis, akseptabel, reputabel, integritas kepribadian yang kuat, berani mengambil resiko disaat yang paling emerjensi dan tidak main-main dangan korupsi.

Lalu Siapa ?
Karena praksis kekuasaan adalah personifikasi orang, maka harus ada satu yang berani tampil mengelola negeri diera turbulensi ini. Siapapun dia, tantangan di depan mata adalah memiliki nyali kuat pada situasi genting ketika rupiah meluncur tajam atau harga minyak melambung tinggi.
Bahwa keputusan itu akan beresiko melorotnya popularitas dan berimplikasi degradsi pamor tentu bukan persoalan yang utama. Justru yang perlu segera diselamatkan bukan makin membubungnya pesona pemimpin tetapi keselamatan para pemilik amanat. Siang malam yang dipikirkan hanya satu yakni rakyat. Hamburan tebar pesona via iklan di halaman utama media cetak maupun ‘prime time’ di televisi adalah sebentuk ectascy ala Boundrillard yang sejatinya melukai nurani rakyat.
Jujur ada kemajuan tapi sesungguhnya tidak sebanding dengan tingkat ongkos produksi membiayai penyelenggaraan negara ini. Jika APBN 2009 sebesar 1.122 trilyun, 170 trilyunnya masih untuk membayar cicilan bunga plus pokok pinjaman yang hingga saat ini masih mencapai 1.300 trilyun. Tentu dampak yang dirasakan rakyat sangatlah tidak signifikan. Hingga tahun kelima pemerintahan duet SBY-JK ini, secara kualitatif hidup rakyat semakin susah. Minyak tanah yang semula bisa dibeli Rp 2.400 per liter tiba-tiba harus naik menjadi di atas Rp 4.000. Pengangguran yang semula akan dikikis hingga di bawah 12 % tetapi realitanya masih bertengger di level 17 %. Demikian pula pertumbuhan ekonomi yang dirancang bisa menembus angka 6,2%, dengan adanya krisis subprime-mortgage yang kini menjalar kemana-mana, apakah target itu bisa tercapai?
Jejak rekam di atas adalah data. Tergantung bagaimana kita menginterpretasinya. Tetapi jika hampir semua rencana-rencana awal itu tidak sesuai dengan tingkat ketercapaian yang harapkan, lalu apa yang bisa diharapkan untuk lima tahun kedepannya? Mana bisa tahan rakyat yang selama ini sudah menderita lalu lebih menderita lagi. Maka pilihannya adalah mesti ada nahkoda lain yang superberani mengambil keputusan-keputusan progresif demi rakyat dan untuk rakyat.
Kesempatan lima tahun pemerintahan SBY-JK yang gagal dan hanya sedikit kenajuan tidak perlu diteruskan lagi. Tidak bisa negeri dengan beban penduduk 235 juta orang ini dibiarkan berlarut-larut dirudung problematika tanpa henti. Jika era agroindustri sudah berlalu dan sekarang memasuki era industri kreatifitas, maka terobosan pemimpin yang berani berkreatifitas mesti dihadirkan. Tidak bisa tidak. Mana bisa tahan jika rakyat terus hidup dalam kedukaan tanpa harapan hidup yang lebih baik.