Senin, 01 Desember 2008

PARTAI POLITIK

PARTAI POLITIK DAN REALITAS POLITIK

Oleh Gatut Priyowidodo
DosenJurusan Ilmu Komunikasi UK Petra Surabaya

PRESKRIPSI awal UU 2/2008 (diberlakuakn sejak 4 Januari 2008) dan sebagai pengganti UU No 31 tahun 2002 tentang keparpolan adalah restrukukturisasi kehidupan kepartaian yang aspiratif. Tidak menjadi soal apakah jumlah partai itu nantinya akan banyak atau relatif sedikit. Maurice Duverger sendiri meyakini bahwa seleksi alam dalam sebuah sistem politik tertentu akan menciptakan paling banyak tiga model kepartaian yakni sistem partai tunggal, sistem bipartai dan sistem multi partai. Pertanyaannya kemudian apakah dengan jumlah 164 partai yang terdaftar di Kementerian Kehakiman dan HAM pada awal reformasi (199) dan menjelang pemilu 2009 sudah menyusut (tapi juga masih banyak) hampir 100 juga sudah mengindikasikan Indonesia menganut sistem multipartai? Secara kuantitas, jelas sudah. Namun apakah kehadirannya sudah cukup menyumbang terhadap progresivitas demokratisasi yang sedang berdayung saat ini adalah problem krusialnya.

Disain Kepartaian
Tentu mempertimbangkan kemajuan demokratisasi yang sudah dicapai melalui kehadiran banyak partai adalah satu soal. Soal lain adalah bagaimana disain kepartaian yang amat liberalistik ini juga mampu mendukung terciptanya kestabilan politik sehingga pemerintahan bisa berjalan secara efektif? Praktek sistem politik di banyak negara yang dapat disaksikan adalah bergerak dari kutub demokratis tetapi tidak stabil (Thailand, Filipina, India) dan stabil tetapi tidak demokratis (Malaysia, Singapura). Spirit reformasi jelas tidak mengidealkan kondisi politik macam demikian. Bayangan temaram yang hendak digapai adalah konstruksi politik yang demokratis tapi juga stabil.
Gullermo O’Donnell (1986) dalam studinya di Eropa Selatan dan Amerika Latin justru menemukan pergerakan dua kutub yang dikhotomis itulah yang dominan dan bukannya alternatif ketiga. Realitas empiris demikian juga menunjukan betapa perjalanan transisi menuju demokrasi adalah problematika yang tidak simplifistis. Bahkan jika tidak hati-hati, bukannya mustahil menciptakan sebuah rejim neo othoritarian yang justru membawa kondisi yang set back. Tidak sedikit negara yang gagal melewati masa-masa sulit demikian. Itu sebabnya menejemen pemerintahan Indonesia saat ini bertumpu pada dua pijakan yang harus secara cermat dimainkan. Salah pijak sama artinya penjerumusan atau proyek bunuh diri.
Disain sistem politik yang stabil sekaligus demokratis tentu sebuah idealisasi di hampir setiap negara di dunia. Atau dengan kata lain, setiap negara berhak mencapai kondisi seperti itu dengan pertaruhan diskrepansi rentang waktu yang dibutuhkan tentu tidak sama. Parameter yang sangat nampak terlihat apakah sebuah negara pada kategori demokratik atau tidak demokratik terletak apakah kehidupan kepartaian di sana normal ataukah pada situasi tekanan. Dua situasi demikian merefleksikan kondisi senyatanya sebuah ralitas politik.
Indonesia adalah negara yang pernah mengalami dua situasi politik yang berbeda semacam itu. Periode 1950-an, sejarah mencatat kehidupan kepartaian yang liberal sekaligus demokratik. Sebaliknya sejak tahun 1973 dengan kebijakan fusi partai, nyaris kehidupan kepartaian tidak ada. Pemilu ke pemilu dengan klaim 90 % tingkat partisipasi rakyat adalah sebuah kebohongan besar yang amat pahit jika hendak dikenang. Terlanjur muncul trauma kolektif masyarakat bahwa partai jelek dan pembangunan baik.

Kanalisasi Politik
Pada saat yang bersamaan trauma kolektif tersebut memendam daya resistensi yang sewaktu-waktu bisa meletup. Pada konteks seperti inilah bisa dipahami bahwa eforia kepartaian adalah kanalisasi politik rakyat yang tidak perlu lagi diintervensi oleh kekuatan negara. Negara dengan segala perangkatnya harus berasumsi bahwa rakyat tidak bodoh. Pembangunan pendidikan selama kurun tiga dasa warsanan telah pula mampu mereproduksi manusia-manusia yang cerdas sekaligus berkesadaran tinggi akan politik rakyat.
Berangkat dari pemahaman tersebut, adalah sebuah kenaifan besar jika menilai Indonesia era reformasi telah kebablasan dalam kepemilikan partai. Penilaian demikian secara implisit juga mempersilakan negara melakukan intervensi dengan instrumen-instrumen pembatasan legal-formal. Jika ini dibenarkan, mudah diperkirakan lahirnya resiko-resiko politik yang memberi bobot terhadap penyumbatan-penyumbatan kemerdekaan rakyat melakukan kegiatan berserikat dan ekspresi politik sipilnya. Pada tataran demikian berlakulah contradictio in terminis. Demokrasi mengalami pemasungan oleh sebab kuatnya kontrol negara akan mendorong lemahnya partisipasi politik warga sipil.
Klaim negara demokrasi tidak bermakna simbolik apapun ketika kegiatan berpartai justru terpatahkan oleh regulasi-regulasi yang bernuansa represif. Maka dengan alasan apapun bentuk pembatasan berpartai adalah refleksi kegagalan negara melakukan instropeksi atas kesalahan yang sama di masa lalu. Pemikiran bahwa liberalisme mendirikan partai bakal meretas jalan menuju disintegrasi sama halnya memasang katup pengaman sementara. Dekanalisasi berpartai tidak mustahil menciptakan volkano politik di masa depan dengan resiko biaya yang mahal.

Realitas Politik
Harus diakui bahwa membangun kehidupan kepartaian yang sehat adalah megaproyek yang tidak mudah. Itu juga berarti selalu saja akan muncul kemungkinan gerakan-gerakan anti pembangunan politik dengan segala variannya. Dari yang amat halus mainnya hingga yang secara explisit membuka front oposan dengan pemerintah. Partai yang pada dasarnya merupakan instrumen artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat kerapkali terdistorsi oleh permainan-permainan jangka pendek para aktivisnya. Itu sebabnya tidak mengherankan banyak partai di era reformasi ini dilanda berbagai konflik internal partai.
Pada mulanya konflik internal partai bisa saja dimaknai sebatas perbedaan wacana. Namun faktanya, tidak hanya berhenti sampai di situ. Malah menggelinding ibarat bola salju yang terus membesar menjadi letupan-letupan yang justru menciptakan fragmentasi kehidupan kepartaian yang tidak sehat. Pertanyaaanya, progresifitas demokrasi macam apa yang bisa dihasilkan dalam suasana sosio-kultur demikian?
Giovani Sartori dalam Party and Party System (1976:3-38) secara jelas memberi diskripsi bahwa partai politik adalah paduan kepentingan yang sejak awal tidak mudah dibangun. Secara etimologis kata partai sendiri baru ada abad 18, sebelumnya yang populer adalah kata faksi. Kendatipun dua kata tersebut memiliki pengertian yang tidak sama dimana faksi yang berasal dari kata facere (Latin) atau faction (Ing.) yang berarti melakukan (to do, to act) dan partai yang berasal dari kata partire yang berarti to divide (memisahkan) dan part (Ing.) berarti bagian dari, ternyata dalam perkembangannya terjadi saling pinjam tempat dan bahkan dimaknai pula yang satu bagian dari yang lain dan yang lain bagian dari yang satunya.
Latarbelakang historis tersebut secara jelas memberi legitimasi teoritik betapa dalam sebuah partai politik modern kehadiran faksi-faksi menjadi sebuah keniscayaan. Dan jika tidak diakomodir bisa menjadi musuh dalam selimut atau malah menghancurkan, namun sebaliknya jika diakomodir selain memajukan partai bisa pula membuat tuntutan-tuntutan baru. Dalam konteks seperti itulah bisa dipahami, betapa tidak mudahnya mengakomodir banyak kepentingan yang bermain dalam tubuh setiap partai politik.
Tidak pada jaman eforia politik saat ini perpecahan partai itu terjadi. Sejak jaman demokrasi liberalpun benih saling berpecah itu sudah ada. Begitupun pada jaman Orde Lama dan Orde Baru, spirit berpecah memang tidak berasal dari intern partai namun kuatnya intervensi negara yang berkepentingan agar partai memang tidak mandiri, justru menggiring partai dengan mudahnya dijadikan kelinci permainan penguasa. Kendatipun berbeda dalam performans, fragmentasi kepartaian seperti PKB Matori vs PKB Alwi Shihab, PPP Hamzah Haz vs PPP Reformasi (?), PK Yusril vs PK Hartono Mardjono, Golkar vs Gerinda, PAN vs PMB, PDI Perjuangan vs PDP dan yang lainnya secara subtansi tetap menunjukan gelagat yang sama yakni belum adanya kestabilan emosional partai. Tentu menuju kedewasaan dan kemadirian partai bukanlah pekerjaan satu-dua hari. Namun mengingat empirisme para pelaku-pelaku politik yang sebagian besar bukanlah pendatang baru, jelas tidak bisa dihindarinya dominasi faktor ego sangat disayangkan.
Kuat tidaknya partai menghadapi terpaan badai, pada intinya juga akan berpulang sejauhmana pelaku partai itu sendiri mampu mengedepankan kepentingan yang lebih luas (partai atau negara) dibanding kepentingan perorangan. Sepanjang terminologi partai diinterpertasi sebagai wahana untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, maka semestinya tujuan mulia itulah yang harus dikedepankan. Bahwa belakangan selalu diapungkan semangat myself is the best, jelas itu akan menanamkan benih perpecahan yang sulit di matikan.

Kalam Penutup
Benar, orientasi utama berdirinya partai adalah how to gets power. Tetapi bagaimana mungkin sebuah kekuasan politik bisa diperoleh jika instrumennya tidak solid dan terbelah ? Ibarat bagaimana mungkin nelayan dengan sampan kecil mampu bersaing dengan kapal tongkang atau pukat harimu menangkap ikan tuna ? Jelas dua-duanya bisa menangkap tuna, tapi seberapa banyak tuna (suara/kursi) bisa dikumpulkan adalah soal lain. Menghitung kekuasaan tidak lain juga menghitung seberapa banyak tangkapan kursi bisa dikoleksi. Besar-kecil atau sedikit-banyak kursi adalah kalkulasi kasat mata mungkin-tidaknya kekuasaan politik tersebut direngkuh. Lengsernya Gus Dur dari kursi kekuasaan adalah kenaifan menghitung kekuasaan dengan sentimen emosionalitas sesaat tanpa dimbangi daya dulkung landasan yang kokoh. Politik bukanlah black-white area only tapi ada juga di sana membujur zona abu-abu (grey zone) yang tidak mudah ditebak kepentingan politik apa yang sedang dimainkan pada setiap tindakan politiknya. Maka berhati-hatilah dalam merespon setiap aksi politik. Janganlah over reaktif sekaligus over possesif.


ooooo ilkom-gpw ooooo


Instruksi alias Pemberitahuan

Silahkan diberikan OPINI Kelas A (Kuliah hari Senin) :
Karena alasan SE atau mungkin tidak masuk beberap mhs belum meperoleh poin dari diskusi kelompok al:
Olivia,melisssa, isabella mona, isabella o,laura,desi, markus,isaura,neysa,wijayanti dan anggota kelompok lain yang belum maju tetapi ingin memberi tanggapan silahkan (NIM jangan lupa)

Menurut saudara, negara dengan multi partai baik atau buruk? Terlebih jika dikaitkan banyak negara dengan sistem multipartai relatif sering labil (goyah) seperti yang saudara lihat kasus di Thailand sekarang ini (30/11) bandara di jadikan sarana untuk mendesak pemerintahan Samchai turun.