Selasa, 27 Mei 2008

Mengkomunikasikan Wilayah Rawan Bencana

Oleh Gatut Priyowidodo

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi dan Ketua Pusat Kajian Komunikasi Petra (PKKP)

UK Petra Surabaya

Berdasarkan analisa data Badan Meteorologi dan Geofisika, Provinsi Jawa Timur memiliki sekurangnya delapan daerah rawan bencana gempa dan gelombang tsunami, yaitu Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember dan Banyuwangi (Tempo Interaktif ,27 Juli 2006). Namun diluar delapan daerah tersebut, tentu tidak ada jaminan bahwa daerah lain terbebas dari ancaman maut gempa, tsunami atau gunung meletus.

Terbukti bahwa pada tanggal 10 September 2007, pukul 06.31.55 WIB telah terjadi gempa bumi berkekuatan 4.5 SR dengan kedalaman 10 km dan pusat gempa 7.88 LS - 114.20 BT, 28 km tenggara Situbondo. Gempa tersebut menyebabkan kerusakan di 3 kecamatan yaitu Asembagus (6 desa), Banyuputih (2 desa) dan Jangkar (3 desa) Kabupaten Situbondo. Tak kurang 19 orang mengalami luka-luka dan sebanyak 797 orang mengungsi. Disamping itu terdapat 29 unit rumah rusak total, 106 unit rusak berat dan 190 rusak ringan serta 22 unit tempat ibadah dan 5 unit sekolah juga mengalami kerusakan.

Baru sebulan kejadian tersebut lewat, kini masyarakat Kediri dan Blitar pun dihadapkan pada situasi kecemasan lain akibat tengara kalau-kalau dalam waktu dekat ini Gunung Kelud juga bakal meletus (Kompas,2 Oktober 2007). Seolah rasa kecemasan itu melengkapi deret penderitaan yang terlebih dulu menimpa warga Bengkulu, Sumbar dan Jambi akibat gempa yang melanda 3 provinsi tersebut pada tanggal 19 September lalu.

Pemda Mesti Belajar

Sekalipun negeri ini berkali-kali tertimpa musibah serupa, sulit dimengerti ternyata semua itu tidak menstimulasi berbagai upaya deteksi dini. Itulah kemudian yang menyebabkan carut marutnya koordinasi di lapangan pasca bencana. Instrumen komunikasi dan informasi simpang siur dan cenderung distorsif. Tragisnya lagi, ada kepala daerah yang pas terjadi bencana justru sedang di luar negeri, lalu lekas-lekas pulang dan melaporkan fakta bencana dengan data yang salah.

Verifikasi data diabaikan. Akibatnya terjadi ketidakvalidan dan keakuratan informasi. Konskuensinya, jika itu dikutip media akan terjadi disinformasi atau pembohongan publik akibat sumber kutipan yang tidak teruji validitasnya. Implikasinya, jika berdasarkan hasil liputan itu kemudian dijadikan sumber referensi untuk membuat proposal bantuan tanggap bencana maka terjadi lagi pembohongan lapis kedua.

Pola berpikir seperti inilah yang sering bergelayut dalam alam sadar kita, untuk berpikir dan bertindak cepat namun dengan data yang tidak akurat. Jangan sampai karena data yang tidak valid, pemerintah daerah menjadi bulan-bulanan masyarakat sehingga distribusi bantuan menjadi kacau. Curiganya, kekacauan ini by design atau memang faktanya demikian. Heboh penilepan uang pengungsi warga Madura, bantuan konflik Ambon dan yang terbaru penyalahgunaan keuangan di BRR Aceh, mestinya menjadi cermin pembanding agar kejadian serupa tidak terulang.

Tidak sekali ini saja wilayah Jawa Timur terkena musibah gempa. Masih segar dalam ingatan kita tahun 1994, sekurangnya 219 orang tewas, 401 luka berat/ringan, ribuan rumah rusak akibat gempa yang disusul gelombang tsunami yang melabrak pantai selatan Jawa Timur yang meliputi Banyuwangi, Jember, Tulungagung, Blitar dan Malang.

Pengalaman buruk atas datangnya ‘tamu’ tak diundang tersebut, kiranya menyadarkan aparat pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang pro bencana. Siapapun tak ingin wilayahnya terterjang bencana, apalagi separah Aceh atau Bengkulu. Namun menjadi tanggung jawab pemerintahlah, agar ketika bencana itu datang segenap instrumen pendukung dalam keadaan siap siaga.

Sekalipun titik berat otonomi daerah menurut UU No 32 Tahun 2004 (terutama pasal 13 & 14) terletak pada level daerah kabupaten/kota, pemerintah provinsi tetap memiliki tanggungjawab besar sebagai koordinator sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah. Segala kebijakan pembangunan harus digerakan dalam irama yang terpadu. Pemprov punya otoritas yang penuh untuk melaksanakan itu. Jangan sampai terjadi misalnya, seorang mantan Presiden mau mengunjungi wilayah yang terkena bencana, sudah hampir naik helikopter lantas dibatalkan hanya karena masalah ijin.

Jawa Timur bukanlah provinsi daratan semata, banyak pulau-pulau di sekeliling Madura yang jika terkena bencana tidak mungkin dijangkau dengan jalur laut. Pilihannya pasti moda udara. Beberapa perusahaan besar yang ada di wilayah ini sudah memiliki helikopter bahkan membangun helipadnya sendiri. Alangkah baiknya jika sejak awal ada MOU atau kerjasama apa dengan regulasi yang jelas jika sewaktu-waktu minta bantuan segera ada respon positif. Ini sebagai tindakan antisipasi jika alat transportasi udara milik pemerintah/ pemprov dipakai bersamaan atau rusak.

Berdasarkan Kepres No.3 Tahun 2001, memang sudah dibentuk Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) Di tingkat Provinsi dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang disingkat Satkorlak PBP. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang disingkat Satlak PBP. Namun faktanya, sekalipun job description setiap satuan pelaksana jelas, ketika bencana datang semua kalang kabut.

Problemnya tentu tidak hanya pada jalur koordinasi, tapi juga bagaimana institusionalisasi badan tersebut dalam rentang pra bencana. Logikanya, konstruksi kelembagaan ini harus dirancang sebagai unit teknis yang siap bertindak kapan saja semisal unit pemadam kebakaran. Tentu ini butuh keterpaduan tindak (action integrity) antar kabupaten/kota dan provinsi.

Memberdayakan Komunitas Lokal

Disadari bahwa tidak mungkin juga menyerahkan kesiagaan antisipasi bencana pada pemerintah an sich. Taruhannya terlalu berat. Terlebih jika mengacu terminologi bencana berdasarkan UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, terdapat tiga jenis bencana yakni bancana alam, bencana non alam dan bencana sosial. Bencana alam mencakup gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor. Termasuk bencana non alam meliputi gagal teknologi, gagal modernisasi, endemik dan wabah penyakit. Sementara bencana sosial mencakup konflik sosial antarkelompok atau komunitas masyarakat dan terror.

Spektrum bencana yang cukup luas tersebut, menuntut institusi kebencanaan baik ditingkat pusat atau daerah terbuka untuk bekerjasama dalam semua lini tahapan dengan masyarakat. Empat tahapan tersebut yakni tahap pertama kesiapsiagaan (perencanaan siaga, peringatan dini), tahap kedua tanggap darurat (kajian darurat, rencana operasional, bantuan darurat), tahap ketiga pasca darurat (pemulihan, rehabilitasi, penuntasan, pembangunan kembali), tahap keempat pencegahan dan mitigasi atau penjinakan dapat secara simultan dilaksanakan dengan peran aktif masyarakat.

Penanganan bencana berbasis masyarakat (community based disaster managemen) ini, bakal jauh lebih efektif dibandingkan badan-badan formal bentukan negara. Namun juga tidak berarti lembaga formal itu tidak penting. Institusi tersebut tetap penting sebagai manifestasi keterlibatan negara meringankan penderitaan rakyatnya. Bahwa dalam prakteknya, justru para aparatus di lembaga ini melakukan penyimpangan distribusi bantuan dan finansial, ranahnya bukan lagi misi kemanusiaan namun sudah tindak pidana.

Kendati tampaknya provinsi ini hanya terbagi atas dua wilayah daratan yakni Jawa dan Madura, namun berdasarkan data Jawa Timur memiliki pulau sebanyak 229 pulau dengan perincian 162 bernama dan 67 lainnya belum bernama. Dengan 48 gunung namun yang aktif ada empat yakni Semeru, Lamongan, Bromo dan Kelud dengan status siaga.

Mencermati kondisi topografis seperti itu, tentu yang sangat diharapkan rakyat jika sewaktu-waktu terjadi bencana adalah ketangkasan pemerintah menghendel persoalan. Apapun alasannya, pemerintah daerah tetap akan menjadi tumpuan harapan rakyat meminta bantuan awal dan sumber informasi (information center) rujukan. Paradigma berpikir pro bencana, mesti digaungkan. Tidak saja sebagai wujud solidaritas sosial, tapi juga untuk mengetuk kesetiakwanan dan nurani wakil rakyat di DPRD agar daripada uang hasil pajak dibuat plesir atas nama kuker ke luar negeri jauh lebih bermanfaat bila disalurkan untuk mereka yang menjadi korban bencana. (Dimuat Kompas Jatim,

oooOOOooo

Jumat, 23 Mei 2008

Pesan Politik Bencana

Gatut Priyowidodo

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, UK Petra Surabaya

Tragedi alam beruntun yang maha dasyat menimpa Indonesia semasa SBY-JK memegang kendali pemerintahan adakah itu sekedar fenomena alam atau tanda-tanda alam? Pertanyaan lanjutannya mengapa pula persis terjadi di dua daerah istimewa DI Aceh dan DI Yogyakarta? Apakah itu hanya sebuah koinsidensi atau justru sebuah afirmasi terhadap resistensi alam atas keduanya memimpin negara ini?

Kalangan ilmuwan pasti berpendapat bahwa prognosis seperti itu tak lebih dari isapan jempol. Lugas dan tegas mereka akan berpendapat apa korelasi linier serta logika berpikirnya gempa dengan pemimpin negara? Sama halnya ketika beredar ramalan bahwa Indonesia semestinya dipimpin oleh mereka yang bernama akhiran NO-TO-NE-GO-RO. Praktis empat presiden pengganti pak Harto (Habibie, Gus Dur, Mega dan SBY) seolah kehilangan wahyu memimpin. “Pulung” kekuasaan yang seharusnya menyertai mereka justru tak pernah hadir sebagai realitas nonempirik. Siapa mereka kemudian menjadi gugatan periodik non ilmiah yang sengaja dilempar ke atmospir politik Indonesia yang serba nisbi.

Indonesia modern ternyata tak pernah jauh beranjak dari logika berpikir Indonesia semi modern (primitif plus). Sekalipun konsep ‘power’ di belahan dunia manapun sama tetapi di Indonesia mesti dibedakan. Terlebih jika mengacu pada konsep kekuasaan Jawa. Studi yang dilakukan Benedict Anderson tentang The Idea of Power in Javanese Culture (1972) adalah bukti betapa kekuasaan dengan konsep ‘kasekten’ sangat berbeda dengan yang dipahami di Barat.

Barat melihat kekuasaan adalah upaya rasional individu, siapa mencari dia akan memperoleh. Tetapi di Jawa dengan konsep non rasional, kekuasaaan tidak dicari tetapi diberi. Jatuhnya ‘pulung’ kepada seseorang adalah manifestasi diterimanya ‘kasekten’ untuk memimpin. Itu berarti mereka yang tidak menerima ‘pulung’ sama artinya terdelegitimasi untuk memimpin.

Pertanyaan cerdasnya. Lalu siapa yang memberi ’pulung’? Lalu apakah Indonesia yang maha luas ini terdistorsi hanya Indonesia-Jawa? Dua pertanyaan tersebut sama sulitnya dengan menjelaskan, banyak saudara-saudara non Jawa lebih Jawa ketimbang orang Jawa sendiri. Itu artinya tataran berpikirnya tidak semata-mata kekuatan argumentasi tetapi mesti melibatkan kekuatan emosi dan rasa dalam bingkai sistem budaya.

Hubungan Kekuasaan

Sebagai sebuah makrokosmos, alam adalah pelindung bagi keseluruhan manusia yang adalah makluk mikrokosmos. Relasi makro-mikro dalam terminologi kekuasaan tradisonal harus mengedepankan keseimbangan. Keseimbangan adalah kata kunci terselenggaranya tata kelola alam-manusia secara baik. Ketika manusia menghormati alam bukan berarti manusia itu menyembah alam. Tetapi memperlakukan alam secara baik.

Mbah Maridjan adalah contohnya. Ia warga biasa namun sedemikian popular melampaui perkiraan ketika gunung Merapi menjadi sorotan. Sebagian orang menganggap ia aneh. Ketika dilarang mendekati gunung dan polisi terus menjaganya, malah juru kunci gunung Merapi ini raib. Dua hari kemudian dia turun dengan berita bahwa mbah Merapi belum meletus, namun bencana kemungkinan berasal dari selatan. Akal sehat sebagian orang akan berpikir, siapa orang ini. Tetapi ia tidak terlampau menghiraukan. Baginya Merapi ibarat makluk, itu sebabnya seolah-olah ia bisa berkomunikasi.

Memahami pola hubungan kekuasaan di Indonesia sejatinya tidak sulit juga tidak mudah. Nilai-nilai rasionalitas dan obyektifitas ternyata tidak sepenuhnya dapat dijadikan instrumen mengukur validitas dan reliabilitas sesuatu. Ada tolok ukur lain yang melampaui ukuran-ukuran normal. Nyata ada, dapat dikatakan tetapi tidak bisa dijelaskan dan semua orang diharap maklum.

Fenomena alam marah tiga tahun beruntun tsunami Aceh (2004), gempa Nias (2005) dan gempa Yogya (2006) adalah isyarat alam. Peneliti gempa pasti dengan mudah menjelaskan jika ini terjadi karena tabrakan dua lempeng Australia dan Asia yang secara periodik berlangsung sekian ratus tahun sekali. Bahwa mengapa lokasi yang dipilih adalah dua daerah istimewa, jelas akan diargumentasi dengan penjelasan normatif. Memang pertemuan dua lempeng itu berdekatan dengan kedua daerah tersebut. Titik. Tidak ada diskusi lanjutan.

Sebaliknya menjelaskan dinamika kekuasaan politik tidak bisa menganut standar baku seperti itu. Kita ambil contoh sederhana, apa raisson d’entre pak Gamawan menunjuk seseorang yang sebelumnya tidak dikenal kiprahnya di dunia pariwisata, seni dan budaya tiba-tiba menjadi kepala dinas dibidang itu? Alasan dan pertimbangan apa, tak perlu publik tahu. Sepenuhnya hak prerogatif sang gubernur. Itu artinya tidak semua hal yang secara standar terukur dan teruji, akan demikian pula hasilnya.

Persis itulah yang harus dipahami. Banyak logika yang tersesat bukan karena kecerdasan intelektualitas tetapi justru terjebak dalam perangkap emosionalitas dan sentimentalitas. Sebagian besar kita bertindak bukan apa yang dipikir tetapi apa yang dirasa. Jika masyarakat jauh mengedepankan rasa dan tidak rasio, sewajarnyalah masyarakat juga mereproduksi pemimpin yang dominan rasa ketimbang rasio.

Indonesia sekarang memang bukan kerajaan Mataram tempo dulu apalagi bagian dari Sunda Nusantara. Kekuasaan adalah pengejawantahan sistem demokrasi. Itu sebabnya penerima mandat kekuasan bukan karena diberi tetapi diperjuangkan. Karena hasil sebuah perjuangan, maka penerima harus melaksanakannya sebagai sebuah amanat agung yang mesti dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab.

Bahwa dalam melaksanakan kekuasaan alam marah dan tidak bersahabat dalam rupa bencana banjir, KA tabrakan, longsor, pesawat jatuh bahkan gempa dan tsunami, semua itu mesti diterima dalam satu keyakinan iman bahwa Tuhan pasti punya rencana terbaik untuk umatnya. Tidak sehasta pun manusia dapat menambah umurnya jika Tuhan yang memiliki hidup ini tidak menghendaki.

Demokrasi adalah pintu kesetaraan dan jalan kesejajaran. Jika ingin berkuasa tidak perlu meniru gaya Ken Arok membunuh Tunggul Ametung penguasa Kerajaan Singosari. Tidak perlu pula menunggu pulung jatuh dari langit seperta era raja-raja Mataram. Atau tergesa-gesa mengganti namanya menjadi berakhiran NE atau NO. Yang dibutuhkan sekarang adalah mandat rakyat. Pulungnya adalah wahyu yang diwejawantahkan dalam amanat dan pilihan rakyat.

Dalam situasi yang sulit pasca kemelut ekonomi, datangnya berbagai bencana mesti ditangkap dalam spirit untuk ingat dan semakin mendekat kepada Tuhan. Kita kokohkan semangat solidaritas sebagai sebuah ‘nation state’ di atas pilar pluralitas baik etnik, agama, ras dan golongan. Jangan saling menghakimi. Kita ikat spirit kekeluargaan berbangsa dalam ikatan saling menopang. Jika semua dapat dirasakan oleh seluruh komponen anak bangsa, percayalah damai akan tumbuh di bumi pertiwi ini dan keadilan akan menjenguk dari angkasa Indonesia.

Transparansi dan Akuntabilitas Pajak Dalam Institusi Partai Politik

Gatut Priyowidodo

Dosen Ilmu Komunikasi FIKOM UK Petra Surabaya

Kendatipun termasuk cakupan subyek pajak yang potensial, ternyata hingga saat ini belum ada laporan resmi yang menyebutkan peringkat kesadaran membayar pajak pada institusi partai politik di Indonesia. Ironisnya, dibanding wajib pajak-wajib pajak lain baik yang bersifat korporasi maupun perorangan, partai politik tergolong institusi yang tak diperhitungkan (uncountable). Belum ada penjelasan resmi mengapa Direktorat Jendral Pajak kurang berminat melakukan terobosan peringkatisasi kesadaran membayar pajak di sektor partai politik ini.

Hipotesis awal paling tidak memunculkan tiga jawaban keraguan. Pertama, partai politik meski secara institusi amat potensial namun secara finansial mungkin tidak terlalu prospektif dalam angka-angka pemasukan rupiah. Kedua, eksistensi partai politik sebagai subyek pajak kerap timbul tenggelam seiring jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu. Ketiga, sebagai sebuah organisasi atau badan, partai politik belum menempatkan dirinya sebagai subyek pajak yang berkesadaran partisipatoris secara penuh.

Terlepas tepat-tidaknya hipotesis di atas, yang hendak dielaborasi melalui tulisan ini adalah apakah partai politik harus melaksanakan kewajiban pajaknya secara transparan dan akuntabel dalam interaksinya dengan penyelenggaraan kehidupan bernegara?

Memahami Dasar Hukum

Mayoritas kalangan aktivis partai-politik berasumsi bahwa partai politik adalah lembaga yang tidak kena pajak. Asumsi ini seolah menemukan pembenar tatkala dalam Undang-Undang Partai Politik (UU No.31 Th.2002 maupun UU No.2 Th. 1999 dan juga UU Keparpolan-sebelum-sebelumnya) baik dalam tujuan umum maupun khususnya ditegaskan bahwa pendirian partai politik adalah untuk mewujudkan cita-cita nasional dan mengembangkan kehidupan demokrasi serta memperjuangkan cita-citanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Praktis semua tujuan diarahkan untuk kepentingan masyarakat melampui kepentingan personal maupun organisasional yang berorientasi kepentingan ekonomis. Itu sebabnya kuat berkembang pemikiran di kalangan parpol bahwa institusi kepartaian seharusnya lembaga yang bebas pajak. Parpol harus memperoleh perlakuan khusus mengingat karakteristik tujuan pendiriannya yang juga spesifik.

Namun tidak demikian halnya dengan pandangan kalangan perpajakan. Menurut Hidayat (2002:15) sekurangnya terdapat empat dasar hukum yang kuat memasukkan partai politik sebagai subyek pajak yang meliputi :

· Pertama, organisasi sosial politik merupakan subyek pajak yang berupa badan, yang berkewajiban mendaftarkan diri ke KPP terdekat untuk memperoleh NPWP sebagaimana badan-badan lainnya. Hal mana diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2000 Pasal 2 ayat (1).

· Kedua, partai politik memperoleh tambahan ekonomi (penghasilan) darimanapun dan dalam bentuk apapun adalah penghasilan tersebut merupakan obyek pajak yang harus diperhitungkan, merujuk pada UU No. 17 Tahun 2000 Pasal 4 ayat (1).

· Ketiga, parpol wajib memotong pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada penerima penghasilan sesuai dengan ketentuan UU No. 17 Tahun 2000 Pasal 21 dan Pasal 23 dan ketentuan-ketentuan khusus yang menyangkut cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 dan Pasal 23.

· Keempat, parpol juga harus menaati beberapa ketentuan perpajakan seperti badan hukum lainya yang secara teknis diatur dalam Surat Edaran No. SE-26/PJ.42/1999.

Mengikuti empat rambu yuridis perpajakan tersebut, amat jelas bahwa partai politik sebagai sebuah institusi subyek pajak sangat prospektif untuk dikenakan pajak. Bahkan jika mengacu pada UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yakni Pasal 17 ayat (1) bahwa keuangan partai politik berasal dari sumber pokok yang meliputi; (a) iuran anggota, (b) sumbangan yang sah menurut hukum, dan (c) bantuan dari anggaran Negara, maka kalangan parpol harus menerima realitas bahwa institusinya tidak berbeda jauh dengan badan-badan serupa lainnya seperti yayasan.

Bahkan jika mau ditelisik lebih jauh tiga sumber pendapatan partai politik di atas barulah yang eksplisit tercantum dalam undang-undang. Belum lagi termasuk usaha-usaha parpol dalam memobilisasi dana dalam bentuk yang lain. Misalnya, dari sektor kewajiban anggota partai politik yang duduk sebagai anggota legislatif (DPR/DPRD) atau lembaga politik tertentu lainnya, serta sumbangan dari mereka yang diuntungkan dengan produk kebijakan yang difasilitasi oleh parpol tertentu.

Partai politik memang bukan perusahaan komersial dengan orientasi utama akumulasi modal dan keuntungan. Tetapi itu tidak berarti bahwa mekanisme kerja di lembaga keparpolan semata-mata hanya dijalankan dengan misi-misi sosial dan bersifat sukarela. Partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum (Pasal 1 UU No. 31 Th. 2002).

Itu berarti jika keinginan kuat adalah untuk melayani dan memperjuangkan kepentingan masyarakat maka tidak mungkin lembaga itu dibentuk hanya bermodalkan semangat dan antusiasisme belaka. Kecukupan modalpun harus diperhitungkan mengingat partai politik harus pula memiliki sarana dan prasarana layaknya perusahaan komersial. Bahkan bila ingin ikut pemilu selain lolos verifikasi juga harus segera memiliki cabang di lebih dari separo provinsi yang ada di Indonesia. Di masing-masing provinsi tersebut harus pula memiliki pengurus di lebih dari separo jumlah kabupaten/kota yang ada di wilayah tersebut (Pasal 2 Ayat (3)). Logika dagangnya, mana mungkin bisa mendirikan semua itu tanpa investasi modal yang kuat?

Kuatnya kapitalisasi adalah juga cerminan keseriusan kalangan parpol mengurus institusinya. Tidak masuk nalar mengeluarkan banyak biaya tanpa berpikir ‘break event point’. Paling tidak, mendirikan partai politik juga harus menyimetriskan langgam berpikir bisnis. Tuntutan modernisasi partai politik yang laku jual harus mampu dikemas selaras dengan selera konsumen (konstituen) tanpa tentunya mengabaikan dimensi ideologis perjuangan partai. Maka jatidiri partai harus jelas. Partai selain mesti dikelola secara professional juga harus menampilkan citra yang bersih, elegan, transparan dan akuntabel. Tidak mungkin menggagas negara yang idealistik, tanpa mampu memulai menajemen kepartaian yang transparan dan akuntabel dalam skala mikro. Perilaku mikro mesti diwejawantahkan bukan dipidatokan. Maka konsistensi dan kejujuran dalam memenuhi kewajiban pajak parpol kepada negara harus dibuktikan bukan dibiaskan, agar tindakan itu menjadi teladan dan bukan olok-olokan.

Memahami Kewajiban Pajak

Memperhatikan dasar hukum di atas, maka parpol sebagai sebuah institusi politik yang otonom juga tidak bisa menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban pajak yang otonom. Artinya tindakan pajak yang diperlakukan kepada parpol sesuai dengan hukum dan undang-undang adalah tindakan perpajakan yang menerjemahkan prinsip ‘equality before the law’. Tidak ada pengistimewaan perlakuan oleh sebab kesederajatan semua institusi di depan pajak. Yang ada hanyalah besar kecilnya skala tanggungjawab pajak.

Berkait kewajiban pajak parpol, Hidayat (2002) mencatat sekurangnya terdapat 8 hal yang harus diperhatikan yakni :

q Parpol wajib memiliki NPWP

q Memotong PPh, Pasal 21 bila ada pembayaran gaji pengurus partai atau pegawai yang bertugas di kantor partai, menyampaikan SPT masa PPh setiap bulan dan kewajiban menyampaikan SPT tahunannya.

q Memotong PPh Pasal 23 Final atas sewa yang dibayar bila menempati gedung kantor yang disewa.

q Dipotong PPh Pasal 23 Final atas bunga simpanan, deposito, jasa giro yang diperoleh parpol dari pihak lain.

q Dalam hal parpol memiliki penghasilan diwajibkan melaporkan PPh Pasal 25 badan dalam bentuk angsuran PPh bulanan dan menyampaikan SPT Tahunan Badan.

q Apabila parpol berhubungan dengan Perusahaan yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam hal pengadaan barang atau alat-alat sudah tentu punya kewajiban untuk melunasi PPN atau PPn BM atas BKP/JKP yang diterima.

q Kewajiban membayar PBB yang merupakan kewajiban pajak obyektif, maka setiap parpol sudah pasti mempunyai kewajiban untuk itu, bila parpol menguasai/ memiliki/menggunakan Tanah dan atau Bangunan.

q BPHTB juga merupakan kewajiban pajak yang harus dilaksanakan oleh parpol bila melakukan transaksi menjual atau membeli tanah dan atau bangunan.

Kewajiban-kewajiban parpol di atas memperjelas fakta bahwa tanggungjawab partai tidak sebatas tanggungjawab parpol dengan pemilihnya, tetapi juga tanggung jawab parpol dengan institusi perpajakan. Apapun alasannya partai politik hendaknya pula memainkan peran pelopor dalam upaya memberikan pelaporan kekayaan partai secara bersih dan transparan. Parpol harus berani membersihkan diri dari segala bentuk praktek manipulatif meskipun hal tersebut bakal banyak memperoleh tentangan dari segala penjuru khususnya dari pihak-pihak yang terlanjur memperoleh banyak previlise.

Potensi Pajak Partai Politik

Sekalipun Pemilu 5 April 2004 yang lalu diikuti 24 partai politik ternyata hanya 16 partai politik yang berhak menempatkan wakilnya di DPR, sementara sisanya harus puas hanya sebagai penggembira hajatan politik lima tahunan tersebut. Berikut adalah tabulasi partai politik yang memperoleh suara di DPR RI.

No.

Nama Partai Politik

Jumlah Kursi

1.

Partai Golkar

127

2.

PDI-P

109

3.

PPP

57

4.

Partai Demokrat

56

5.

PAN

53

6.

PKB

52

7.

PKS

45

8.

PBR

14

9.

PDS

13

10.

PBB

11

11.

PPDK

4

12.

Partai Pelopor

3

13.

PKPB

2

14.

PKPI

1

15.

PPDI

1

16.

PNI Marhainisme

1

17

Jumlah

550

Jumlah suara pada dasarnya juga mencerminkan jumlah uang yang masuk ke kas partai. Sebab negara akan memberi sumbangan ke masing-masing partai berdasarkan jumlah suara atau pemilih yang berhasil dikumpulkan oleh partai kali seribu rupiah. Itu berarti jika Partai Golkar bisa mengumpulkan lebih dari 20 juta pemilih maka sumbangan anggaran negara yang masuk ke kas partai tersebut juga akan lebih dari 20 milyar rupiah. Sebaliknya semakin kecil suara yang didulang dalam pemilu, maka sumbangan uang pembinaan dari negara pun akan kecil diterima oleh partai.

Terlepas dari besar kecilnya pendapatan partai dari sektor penerimaan sumbangan APBN, kantor perpajakan tetap harus mencermati bahwa partai politik pun adalah sebuah institusi yang potensial dan prospektif dikenakan wajib pajak. Pemungutan pajak jangan hanya semata-mata dilihat dari besar kecilnya jumlah uang yang masuk, namun patut diperhatikan pula dimensi kedisiplinan, ketaatan dan kekonsistenan wajib pajak terhadap kewajiban pajak yang menjadi tanggungjawabnya. Terbangunnya relasi yang baik antara subyek pajak dengan kantor perpajakan selain penting, juga menstimulasi adanya interaksi yang simbiosis mutualisma.

Melalui interaksi yang saling membutuhkan tersebut, lama-kelamaan citra negatif kantor pajak sebagai agen pemungut cukai, pemalak kekayaan orang dan sebisa mungkin dihindari akan terkikis. Masih banyaknya subyek pajak yang terlibat transaksi manipulatif pajak dengan oknum-oknum perpajakan harus lekas dihentikan. Masih kokoh berakar bahwa membayar pajak merupakan kewajiban instruksional dan bukannya manifestasi tanggungjawab warga negara yang taat.

Itu sebabnya menumbuhkan kesadaran pajak bukan pekerjaan sesaat, tetapi proyek besar yang membutuhkan kebersamaan. Selain pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak dituntut membuat regulasi yang pro pajak, juga harus bisa mendorong terciptanya atmosphere bahwa mekanisme dan alur kerja pajak sudah berjalan secara baik, transparan dan akuntabel.

Berkembangnya pemikiran bahwa parpol bukanlah lembaga yang tersentuh wajib pajak harus pula dipahami dalam konteks ini. Tidak hanya parpol memang, banyak lembaga, badan atau perorangan yang berusaha menghindari pajak bukan karena tidak mau, tetapi kerap mempertanyakan kemana dan untuk apa pajak yang telah dipungut tersebut. Jalur formalnya memang ke kas negara. Setelah di sana kemudian kembali ke pos-pos departemen dalam bentuk pembiayaan DIP, lalu dikorupsi itulah yang membuat skeptis masyarakat mengisi secara jujur SPT Tahunannya. Maka terbangunnya relasi yang baik antara subyek pajak dan KPP selain perlu juga penting untuk menjaga saling kepercayaan guna mencegah ‘potential loss’ pajak.

Eksistensi Partai Politik dan Kesadaran Pajak

Jika mengacu pada UU No 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan serta Surat Edaran No. SE-26/PJ.42/1999 tentang Perlakuan Pajak Bagi Partai Politik maka jelas di sana diatur bagaimana posisi partai politik tersebut. Partai politik ditempatkan sebagai sebuah subyek pajak dengan segala konsekuensinya. Hanya saja aturan tersebut harus juga memperhatikan bagaimana eksistensi partai politik tersebut. Kendatipun aturan tetap aturan namun implementasinyapun harus fleksibel.

Berbeda dengan perusahaan komersial bahwa maju tidaknya usaha ditentukan tingkat akumulasi keuntungan yang bisa dihimpun, partai politik justru mengandalkan perolehan suara pemilih. Survival partai politik amat tergantung seberapa banyak rakyat mempercayakan pilihannya kepada partai politik tersebut. Bahkan jika tidak bisa melewati ketentuan dari UU No. 12 Tahun 2003 Pasal 9 tentang batas minimal (electoral threshold) sebesar 3 % maka nasib parpol tersebut pastilah tamat.

Nasib buruk parpol tersebut juga berimplikasi terhadap eksistensinya sebagai subyek pajak. KPP jelas tidak mungkin memperhitungkan sebuah subyek pajak yang tidak lagi memenuhi kriteria wajib pajak. Ironisnya berdasarkan hasil pemilu legislatif 5 April 2004 lalu, harus ada sekurangnya 8 parpol yang dihapus bukukan jika aktivitas kepartaian tidak berdenyut lagi. Tidak mengherankan bila berkembang persepsi bahwa semakin baik kehidupan demokrasi semakin kondusif pula terhadap pungutan pajak yang dikumpulkan.. Itu berarti terbukanya ruang demokrasi yang baik berpotensi mendorong pelaporan pajak yang jujur dan adil.

Subyek pajak termasuk partai politik, pasti mengisi form SPT-nya dengan benar dan obyektif karena tahu bahwa uang pajak yang dikumpulkan digunakan secara tepat, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk misi seperti ini partai politik bisa memainkan peran yang sangat besar. Terlebih bagi parpol yang incumbent (memerintah). Maka kesempatan untuk menstimulasi peningkatan kesadaran wajib pajak terbuka luas. Bahkan sekarang sedang dibahas RUU Pajak yang baru dan diharapkan sudah bisa diundangkan paling lambat 1 Januari 2006 (Kompas, 24-8-2005)

Indonesia sebetulnya sangat potensial menjadi negara mandiri dan bebas utang jika pada diri seluruh rakyat telah bersemai benih kesadaran pajak. Sebelum menjadi kesadaran berpajak yang partisipatoris, pemerintah harus mengambil langkah terobosan melalui perundangan dan perilaku birokrasi yang patut diteladani. Jangan sampai moto, orang bijak taat pajak menjadi bumerang. Rakyat disuruh taat pajak, justru banyak perilaku koruptif, penyalahgunaan wewenang (abuse of power) merajalela dimana-mana termasuk di instansi perpajakan yang terkenal dengan sebutan ‘wilayah basah’. Keteladanan menjadi kata kunci agar kampanye sadar pajak membumi.

Ditemukannya banyak manipulasi pajak serta laporan fiktif badan usaha adalah cermin retak tumpulnya penegakan keadilan. Kalangan aktivis parpol harus menjadi ujung tombak agar praktek-praktek pembusukan internal birokrasi disudahi. Tidak mudah memang. Tapi harus ada upaya nyata sekalipun kecil hasilnya. Citra diri parpol yang bersih sebetulnya adalah ‘raw material’ terselenggaranya pemerintahan yang bersih pula. Tidak mungkin membangun sebuah tatanan negara yang demokratis dan berkeadilan tinggi bila pasokan para calon pejabat publiknya bermental permisif dan koruptif. Perilaku adalah pantulan paling nyata dari kata hati. Jika hati bersih, tindakan politik apapun termasuk dalam hal mengisi kewajiban pajaknya juga bersih dan jujur.

Penutup

Partai politik sebagai subyek pajak tidak bisa menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban pajaknya. Sekalipun partai politik tersebut memegang tampuk kekuasaan tetap tanggungjawab membayar pajak baik selaku institusi maupun pelaksana kegiatan parpol tetap harus dijalankan. Instansi perpajakan harus mampu membuat terobosan baru agar partai politik selain memiliki kesadaran pajak juga terdorong menjadi pelopor subyek pajak yang patuh.

Timbul tenggelamnya partai politik dalam pentas panggung politik seiring dengan besar kecilnya jumlah suara yang diperoleh berimplikasi terhadap tingkat konsistensi parpol tersebut sebagai subyek pajak. Itu sebabnya memperlakukan partai politik berkait dengan kewajiban pajak harus lebih cermat.

Interaksi Publik dan Komunikasi Diafragma

Gatut Priyowidodo

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FIKOM UK Petra Surabaya

“Karena Diusir, Wartawanpun Tinggalkan Istana”, demikian judul berita Kilas Politik dan Hukum (Kompas, 23/9/2005). Kejadian itu dipicu karena Kepala Sub-Bagian Foto dan Pers Dipl. Ing Armaya Thohir mengusir para jurnalis yang biasa meliput kegiatan Presiden di istana. Saat itu, sedang berlangsng rapat antara Presiden SBY dengan menteri dan Panglima TNI dan para kepala staf TNI soal alat utama sistem senjata. Pagi harinya pengusiran wartawan juga terjadi saat Presiden SBY menerima Dirut PT Danareksa Lin Che Wie. Padahal, para wartawan tersebut meliput atas undangan Biro Pers Istana melalui SMS.

Di Padang lain lagi, akibat pesan berantai via SMS bahwa akan terjadi tsunami hebat menjelang tanggal 30 Desember 2004 lalu, ratusan ribu warga kota Padang tumpah ruah ke jalan menuju bukit untuk mengungsi. Namunpun tanda-tanda berupa gempa besar yang mendahului tidak ada, masyarakat tetap yakin bahwa berita SMS tersebut benar.

Tidak mau kalah dan dituduh gagap teknologi informasi (TI), Presiden pun membuka hotline 9949 layanan SMS yang buka 24 jam untuk menampung seluruh aspirasi masyarakat tanpa sensor. Apapun pesan yang anda kirim, dalam hitungan detik segera akan memperoleh balasan. Sekalipun merupakan balasan otomatis yang sudah diprogram.

Kasus-kasus di atas sekedar contoh, betapa efektifnya fasilitas SMS dipakai sebagai sarana interaksi dan komunikasi publik. Bahkan dalam kurun satu dasa warsa ini perkembangan teknologi seluler ibarat laju mobil yang tidak terkendali lagi. Sangat pesat, inovatif dan revolusioner. Tidak mengherankan selain dampak positif, manusia juga terstimulasi untuk memanfaatkan keterhandalan teknologi seluler tersebut secara menyimpang atau untuk kejahatan.

Interaksi Publik Berwawasan TI

Interaksi publik sebagai sebuah proses sosial sekurangnya dicirikan oleh dua hal yakni adanya kontak sosial dan komunikasi. Con atau cum (bersama-sama) dan tango (menyentuh). Artinya jika menginginkan hasil yang maksimal komunikasi yang dibangun harus dikonstruksi pada tataran bersama-sama dan menyentuh.

Itu sebabnya selain komunikan, komunikator dan pesan, perhatian serius juga harus ditujukan pada instrumen penyampai pesan agar komunikasi berlangsung efektif seturut dengan sasaran yang hendak dituju.

Kemajuan TI selain mengantar kemudahan berinteraksi dan berkomunikasi, tak pelak mempersempit ruang publik diselenggarakannya diskursus secara konvesional. Benturan ide, gagasan yang mewarnai sebuah diskursus akhirnya harus berlangsung di arena pertempuran maya yang sudah pasti kering akan nuansa etika, estetika dan sentuhan-sentuhan humanisme.

Bahasa efisiensi dan efektifitas mesti dipungut sebagai kata kunci dalam katalog akselarsi transaksi-transaksi sosial. Kehadiran fisik menjadi naïf, karena sesungguhnya cukup diwakili dengan simbol-simbol aksara pesan. Tidak hanya itu, wujud dan postur pelaku interaksi pun bisa di sent, tanpa bergulat dengan peliknya alat transportasi, kenaikan BBM ataupun kemacetan lalu-lintas. Kehidupan menjadi praktis dan ekonomis.

Dalam konteks seperti itulah dapat dimengerti mengapa Presiden SBY berusaha mengembangkan pola interaksi publik berwawasan TI. Tradisi Klompencapir yang populer sebagai wahana berinteraksi diera pak Harto dulu sekarang mungkin tidak jamannya lagi. Jaman berganti, pilihan-pilihan strategi berkomunikasipun harus diselaraskan dengan perubahan jaman tersebut.

Sikap, tindakan dan pola perilaku sejatinya adalah hasil reproduksi perkembangan situasi. Atau mengutip teori strukturasi Gidden (1984) bahwa praktek-praktek sosial adalah hubungan timbal-balik antara agen dan struktur. Interaksi antara struktur dan agen melahirkan tindakan individu. Tindakan individu ini berlangsung dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Itu berarti bahwa tindakan individu itu tidak selamanya tetap, tetapi berbeda dalam ruang dan waktu yang berbeda.

Dengan demikian ruang dan waktu itu dalam banyak hal tidak bersifat eksternal, tetapi internal dalam diri individu. Maka lahirlah konsep bahwa tidak ada agen yang secara permanen menampilkan dirinya pada setiap tipe praktek sosial. Atau dengan kata lain, setiap praktek sosial akan berlangsung secara dinamis.

Komunikasi Diafragma

Lantaran praktek sosial tidak berlangsung permanen, maka inovasi dalam memilih strategi berinteraksi dan berkomunikasi menjadi sebuah keniscayaan.

Teknologi telekomunikasi bergerak menawarkan banyak fasilitas. Dari suara (voice), SMS, visual/MMS, info terkini hingga email. Alternatif tersebut sengaja disediakan operator penghasil jasa sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.

Mempertimbangkan kemampuan dan daya beli masyarakatnya, maka Presiden SBY memilih layanan SMS sebagai sarana interaksi publik. Tidak mengherankan dalam jangka satu semester hotline tersebut beroperasi, sudah jutaan SMS masuk. Bukti keterhandalan layanan SMS untuk interaksi publik baik antara pemerintah dengan rakyat atau antarindividu dengan individu yang lain sudah teruji.

Ada tiga alasan mengapa SMS dipilih sebagai sarana interaksi dan komunikasi publik. Pertama dialogis, artinya layanan ini sekalipun tidak bersuara tetapi si penerima pesan akan segera memberi respon. Untuk satu topik misalnya, bisa terjadi empat-lima kali kirim pesan. Pada jarak, ruang dan lokasi yang berbeda, seorang pengirim dan penerima pesan bisa melakukan transfer informasi tanpa mengganggu pihak lain.

Kedua Fragmentaris artinya mengingat space yang tersedia amat terbatas, maka si pengirim dan penerima pesan mesti secara cermat memilih kata yang tepat. Maka lazim ditemukan satu tema besar dipecah menjadi beberapa kali pengiriman pesan. Karenaya maniak SMS akan segera tahu kata-kata akronim apa yang pesat berkembang di belantara per-SMS-an. Misalnya, terimakasih disingkat tq, aku disingakt aq dan lain-lain. Hingga pening kepala dicari di kamus pasti tidak menemukan kependekan-kependekan seperti itu.

Bahasa gaul pun tidak cukup akomodatif dengan istilah tersebut. Karena sifat dan fungsinya yang berbeda. Kosa kata SMS cukup dituliskan. Sebab itu bila tidak paham akan segera lekas mengerti jika kata-kata tersebut dikaitkan dengan kata yang lain. Kecuali seluruh pesan ditulis dengan singkatan pasti membingungkan. Bedanya dengan bahasa gaul, bahasa gaul dilafalkan. Tentu tidak mungkin kalau melafalkan tq.

Alasan ketiga mahahemat artinya dibanding komunikasi ucapan, SMS amat murah. Pesan sampai tujuan, dalam tempo singkat, biaya yang dikeluarkan amat hemat. Bagi konsumen amat menguntungkan, bagi pihak operatorpun tidak merugikan. Bahkan sektor layanan SMS sebagai bisnis eceran, keuntungannya amat menggiurkan.

Mengikuti keberhasilan Presiden SBY, dalam mengembangkan strategi interaksi publik melalui jalur komunikasi SMS diafragma, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari pun turut memasang hotline kesehatan 9611, untuk menampung aspirasi masyarakat. Respon masyarakatpun amat antusias karena isu flu burung, BDB, polio yang sekarang lagi mewabah.

Penutup

Melalui pesatnya kemajuan teknologi informasi, baik pemerintah maupun masyarakat harus didorong untuk melakukan sinergi kekuatan. Strategi yang tepat, dalam interaksi publik akan memungkinkan masyarakat mengambil peran lebih khususnya dalam berpartisipasi menjaga keamanan di lingkungan masing-masing.

Partisipasi masyarakat harus selalu ditumbuhkan, agar kewaspadaan dan keamanan nasional tetap terkendali. Jalur komunikasi via SMS yang berkarakteristik diafragma (dialogis, fragmentaris dan mahahemat) adalah sarana yang cukup potensial dikembangkan dan sejauh mungkin mesti dihindarkan dari praktek salah kelola.

Sepanjang layanan hotline ditangani secara profesional, maka pemerintah akan memperoleh banyak manfaat. Masukan yang positif, konstruktif dan demi kebaikan bersama harus ditindaklanjuti. Sebaliknya input yang negatif, kritis dan cenderung destruktif dengan lapang dada juga harus diberi tempat dan perhatian penuh. Siapa tahu, justru hal-hal yang negative tersebut menjadi sumber inspirasi pembenahan ke depan.