Selasa, 27 Mei 2008

Mengkomunikasikan Wilayah Rawan Bencana

Oleh Gatut Priyowidodo

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi dan Ketua Pusat Kajian Komunikasi Petra (PKKP)

UK Petra Surabaya

Berdasarkan analisa data Badan Meteorologi dan Geofisika, Provinsi Jawa Timur memiliki sekurangnya delapan daerah rawan bencana gempa dan gelombang tsunami, yaitu Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember dan Banyuwangi (Tempo Interaktif ,27 Juli 2006). Namun diluar delapan daerah tersebut, tentu tidak ada jaminan bahwa daerah lain terbebas dari ancaman maut gempa, tsunami atau gunung meletus.

Terbukti bahwa pada tanggal 10 September 2007, pukul 06.31.55 WIB telah terjadi gempa bumi berkekuatan 4.5 SR dengan kedalaman 10 km dan pusat gempa 7.88 LS - 114.20 BT, 28 km tenggara Situbondo. Gempa tersebut menyebabkan kerusakan di 3 kecamatan yaitu Asembagus (6 desa), Banyuputih (2 desa) dan Jangkar (3 desa) Kabupaten Situbondo. Tak kurang 19 orang mengalami luka-luka dan sebanyak 797 orang mengungsi. Disamping itu terdapat 29 unit rumah rusak total, 106 unit rusak berat dan 190 rusak ringan serta 22 unit tempat ibadah dan 5 unit sekolah juga mengalami kerusakan.

Baru sebulan kejadian tersebut lewat, kini masyarakat Kediri dan Blitar pun dihadapkan pada situasi kecemasan lain akibat tengara kalau-kalau dalam waktu dekat ini Gunung Kelud juga bakal meletus (Kompas,2 Oktober 2007). Seolah rasa kecemasan itu melengkapi deret penderitaan yang terlebih dulu menimpa warga Bengkulu, Sumbar dan Jambi akibat gempa yang melanda 3 provinsi tersebut pada tanggal 19 September lalu.

Pemda Mesti Belajar

Sekalipun negeri ini berkali-kali tertimpa musibah serupa, sulit dimengerti ternyata semua itu tidak menstimulasi berbagai upaya deteksi dini. Itulah kemudian yang menyebabkan carut marutnya koordinasi di lapangan pasca bencana. Instrumen komunikasi dan informasi simpang siur dan cenderung distorsif. Tragisnya lagi, ada kepala daerah yang pas terjadi bencana justru sedang di luar negeri, lalu lekas-lekas pulang dan melaporkan fakta bencana dengan data yang salah.

Verifikasi data diabaikan. Akibatnya terjadi ketidakvalidan dan keakuratan informasi. Konskuensinya, jika itu dikutip media akan terjadi disinformasi atau pembohongan publik akibat sumber kutipan yang tidak teruji validitasnya. Implikasinya, jika berdasarkan hasil liputan itu kemudian dijadikan sumber referensi untuk membuat proposal bantuan tanggap bencana maka terjadi lagi pembohongan lapis kedua.

Pola berpikir seperti inilah yang sering bergelayut dalam alam sadar kita, untuk berpikir dan bertindak cepat namun dengan data yang tidak akurat. Jangan sampai karena data yang tidak valid, pemerintah daerah menjadi bulan-bulanan masyarakat sehingga distribusi bantuan menjadi kacau. Curiganya, kekacauan ini by design atau memang faktanya demikian. Heboh penilepan uang pengungsi warga Madura, bantuan konflik Ambon dan yang terbaru penyalahgunaan keuangan di BRR Aceh, mestinya menjadi cermin pembanding agar kejadian serupa tidak terulang.

Tidak sekali ini saja wilayah Jawa Timur terkena musibah gempa. Masih segar dalam ingatan kita tahun 1994, sekurangnya 219 orang tewas, 401 luka berat/ringan, ribuan rumah rusak akibat gempa yang disusul gelombang tsunami yang melabrak pantai selatan Jawa Timur yang meliputi Banyuwangi, Jember, Tulungagung, Blitar dan Malang.

Pengalaman buruk atas datangnya ‘tamu’ tak diundang tersebut, kiranya menyadarkan aparat pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang pro bencana. Siapapun tak ingin wilayahnya terterjang bencana, apalagi separah Aceh atau Bengkulu. Namun menjadi tanggung jawab pemerintahlah, agar ketika bencana itu datang segenap instrumen pendukung dalam keadaan siap siaga.

Sekalipun titik berat otonomi daerah menurut UU No 32 Tahun 2004 (terutama pasal 13 & 14) terletak pada level daerah kabupaten/kota, pemerintah provinsi tetap memiliki tanggungjawab besar sebagai koordinator sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah. Segala kebijakan pembangunan harus digerakan dalam irama yang terpadu. Pemprov punya otoritas yang penuh untuk melaksanakan itu. Jangan sampai terjadi misalnya, seorang mantan Presiden mau mengunjungi wilayah yang terkena bencana, sudah hampir naik helikopter lantas dibatalkan hanya karena masalah ijin.

Jawa Timur bukanlah provinsi daratan semata, banyak pulau-pulau di sekeliling Madura yang jika terkena bencana tidak mungkin dijangkau dengan jalur laut. Pilihannya pasti moda udara. Beberapa perusahaan besar yang ada di wilayah ini sudah memiliki helikopter bahkan membangun helipadnya sendiri. Alangkah baiknya jika sejak awal ada MOU atau kerjasama apa dengan regulasi yang jelas jika sewaktu-waktu minta bantuan segera ada respon positif. Ini sebagai tindakan antisipasi jika alat transportasi udara milik pemerintah/ pemprov dipakai bersamaan atau rusak.

Berdasarkan Kepres No.3 Tahun 2001, memang sudah dibentuk Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) Di tingkat Provinsi dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang disingkat Satkorlak PBP. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang disingkat Satlak PBP. Namun faktanya, sekalipun job description setiap satuan pelaksana jelas, ketika bencana datang semua kalang kabut.

Problemnya tentu tidak hanya pada jalur koordinasi, tapi juga bagaimana institusionalisasi badan tersebut dalam rentang pra bencana. Logikanya, konstruksi kelembagaan ini harus dirancang sebagai unit teknis yang siap bertindak kapan saja semisal unit pemadam kebakaran. Tentu ini butuh keterpaduan tindak (action integrity) antar kabupaten/kota dan provinsi.

Memberdayakan Komunitas Lokal

Disadari bahwa tidak mungkin juga menyerahkan kesiagaan antisipasi bencana pada pemerintah an sich. Taruhannya terlalu berat. Terlebih jika mengacu terminologi bencana berdasarkan UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, terdapat tiga jenis bencana yakni bancana alam, bencana non alam dan bencana sosial. Bencana alam mencakup gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor. Termasuk bencana non alam meliputi gagal teknologi, gagal modernisasi, endemik dan wabah penyakit. Sementara bencana sosial mencakup konflik sosial antarkelompok atau komunitas masyarakat dan terror.

Spektrum bencana yang cukup luas tersebut, menuntut institusi kebencanaan baik ditingkat pusat atau daerah terbuka untuk bekerjasama dalam semua lini tahapan dengan masyarakat. Empat tahapan tersebut yakni tahap pertama kesiapsiagaan (perencanaan siaga, peringatan dini), tahap kedua tanggap darurat (kajian darurat, rencana operasional, bantuan darurat), tahap ketiga pasca darurat (pemulihan, rehabilitasi, penuntasan, pembangunan kembali), tahap keempat pencegahan dan mitigasi atau penjinakan dapat secara simultan dilaksanakan dengan peran aktif masyarakat.

Penanganan bencana berbasis masyarakat (community based disaster managemen) ini, bakal jauh lebih efektif dibandingkan badan-badan formal bentukan negara. Namun juga tidak berarti lembaga formal itu tidak penting. Institusi tersebut tetap penting sebagai manifestasi keterlibatan negara meringankan penderitaan rakyatnya. Bahwa dalam prakteknya, justru para aparatus di lembaga ini melakukan penyimpangan distribusi bantuan dan finansial, ranahnya bukan lagi misi kemanusiaan namun sudah tindak pidana.

Kendati tampaknya provinsi ini hanya terbagi atas dua wilayah daratan yakni Jawa dan Madura, namun berdasarkan data Jawa Timur memiliki pulau sebanyak 229 pulau dengan perincian 162 bernama dan 67 lainnya belum bernama. Dengan 48 gunung namun yang aktif ada empat yakni Semeru, Lamongan, Bromo dan Kelud dengan status siaga.

Mencermati kondisi topografis seperti itu, tentu yang sangat diharapkan rakyat jika sewaktu-waktu terjadi bencana adalah ketangkasan pemerintah menghendel persoalan. Apapun alasannya, pemerintah daerah tetap akan menjadi tumpuan harapan rakyat meminta bantuan awal dan sumber informasi (information center) rujukan. Paradigma berpikir pro bencana, mesti digaungkan. Tidak saja sebagai wujud solidaritas sosial, tapi juga untuk mengetuk kesetiakwanan dan nurani wakil rakyat di DPRD agar daripada uang hasil pajak dibuat plesir atas nama kuker ke luar negeri jauh lebih bermanfaat bila disalurkan untuk mereka yang menjadi korban bencana. (Dimuat Kompas Jatim,

oooOOOooo

Tidak ada komentar: