Gatut Priyowidodo
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, UK Petra Surabaya
Tragedi alam beruntun yang maha dasyat menimpa
Kalangan ilmuwan pasti berpendapat bahwa prognosis seperti itu tak lebih dari isapan jempol. Lugas dan tegas mereka akan berpendapat apa korelasi linier serta logika berpikirnya gempa dengan pemimpin negara? Sama halnya ketika beredar ramalan bahwa
Barat melihat kekuasaan adalah upaya rasional individu, siapa mencari dia akan memperoleh. Tetapi di Jawa dengan konsep non rasional, kekuasaaan tidak dicari tetapi diberi. Jatuhnya ‘pulung’ kepada seseorang adalah manifestasi diterimanya ‘kasekten’ untuk memimpin. Itu berarti mereka yang tidak menerima ‘pulung’ sama artinya terdelegitimasi untuk memimpin.
Pertanyaan cerdasnya. Lalu siapa yang memberi ’pulung’? Lalu apakah
Hubungan Kekuasaan
Sebagai sebuah makrokosmos, alam adalah pelindung bagi keseluruhan manusia yang adalah makluk mikrokosmos. Relasi makro-mikro dalam terminologi kekuasaan tradisonal harus mengedepankan keseimbangan. Keseimbangan adalah kata kunci terselenggaranya tata kelola alam-manusia secara baik. Ketika manusia menghormati alam bukan berarti manusia itu menyembah alam. Tetapi memperlakukan alam secara baik.
Mbah Maridjan adalah contohnya. Ia warga biasa namun sedemikian popular melampaui perkiraan ketika gunung Merapi menjadi sorotan. Sebagian orang menganggap ia aneh. Ketika dilarang mendekati gunung dan polisi terus menjaganya, malah juru kunci gunung Merapi ini raib. Dua hari kemudian dia turun dengan berita bahwa mbah Merapi belum meletus, namun bencana kemungkinan berasal dari selatan. Akal sehat sebagian orang akan berpikir, siapa orang ini. Tetapi ia tidak terlampau menghiraukan. Baginya Merapi ibarat makluk, itu sebabnya seolah-olah ia bisa berkomunikasi.
Memahami pola hubungan kekuasaan di
Fenomena alam marah tiga tahun beruntun tsunami Aceh (2004), gempa Nias (2005) dan gempa Yogya (2006) adalah isyarat alam. Peneliti gempa pasti dengan mudah menjelaskan jika ini terjadi karena tabrakan dua lempeng
Sebaliknya menjelaskan dinamika kekuasaan politik tidak bisa menganut standar
Persis itulah yang harus dipahami. Banyak logika yang tersesat bukan karena kecerdasan intelektualitas tetapi justru terjebak dalam perangkap emosionalitas dan sentimentalitas. Sebagian besar kita bertindak bukan apa yang dipikir tetapi apa yang dirasa. Jika masyarakat jauh mengedepankan rasa dan tidak rasio, sewajarnyalah masyarakat juga mereproduksi pemimpin yang dominan rasa ketimbang rasio.
Bahwa dalam melaksanakan kekuasaan alam marah dan tidak bersahabat dalam rupa bencana banjir, KA tabrakan, longsor, pesawat jatuh bahkan gempa dan tsunami, semua itu mesti diterima dalam satu keyakinan iman bahwa Tuhan pasti punya rencana terbaik untuk umatnya. Tidak sehasta pun manusia dapat menambah umurnya jika Tuhan yang memiliki hidup ini tidak menghendaki.
Demokrasi adalah pintu kesetaraan dan jalan kesejajaran. Jika ingin berkuasa tidak perlu meniru
Dalam situasi yang sulit pasca kemelut ekonomi, datangnya berbagai bencana mesti ditangkap dalam spirit untuk ingat dan semakin mendekat kepada Tuhan. Kita kokohkan semangat solidaritas sebagai sebuah ‘nation state’ di atas pilar pluralitas baik etnik, agama, ras dan golongan. Jangan saling menghakimi. Kita ikat spirit kekeluargaan berbangsa dalam ikatan saling menopang. Jika semua dapat dirasakan oleh seluruh komponen anak bangsa, percayalah damai akan tumbuh di bumi pertiwi ini dan keadilan akan menjenguk dari angkasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar