Jumat, 23 Mei 2008

Pesan Politik Bencana

Gatut Priyowidodo

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, UK Petra Surabaya

Tragedi alam beruntun yang maha dasyat menimpa Indonesia semasa SBY-JK memegang kendali pemerintahan adakah itu sekedar fenomena alam atau tanda-tanda alam? Pertanyaan lanjutannya mengapa pula persis terjadi di dua daerah istimewa DI Aceh dan DI Yogyakarta? Apakah itu hanya sebuah koinsidensi atau justru sebuah afirmasi terhadap resistensi alam atas keduanya memimpin negara ini?

Kalangan ilmuwan pasti berpendapat bahwa prognosis seperti itu tak lebih dari isapan jempol. Lugas dan tegas mereka akan berpendapat apa korelasi linier serta logika berpikirnya gempa dengan pemimpin negara? Sama halnya ketika beredar ramalan bahwa Indonesia semestinya dipimpin oleh mereka yang bernama akhiran NO-TO-NE-GO-RO. Praktis empat presiden pengganti pak Harto (Habibie, Gus Dur, Mega dan SBY) seolah kehilangan wahyu memimpin. “Pulung” kekuasaan yang seharusnya menyertai mereka justru tak pernah hadir sebagai realitas nonempirik. Siapa mereka kemudian menjadi gugatan periodik non ilmiah yang sengaja dilempar ke atmospir politik Indonesia yang serba nisbi.

Indonesia modern ternyata tak pernah jauh beranjak dari logika berpikir Indonesia semi modern (primitif plus). Sekalipun konsep ‘power’ di belahan dunia manapun sama tetapi di Indonesia mesti dibedakan. Terlebih jika mengacu pada konsep kekuasaan Jawa. Studi yang dilakukan Benedict Anderson tentang The Idea of Power in Javanese Culture (1972) adalah bukti betapa kekuasaan dengan konsep ‘kasekten’ sangat berbeda dengan yang dipahami di Barat.

Barat melihat kekuasaan adalah upaya rasional individu, siapa mencari dia akan memperoleh. Tetapi di Jawa dengan konsep non rasional, kekuasaaan tidak dicari tetapi diberi. Jatuhnya ‘pulung’ kepada seseorang adalah manifestasi diterimanya ‘kasekten’ untuk memimpin. Itu berarti mereka yang tidak menerima ‘pulung’ sama artinya terdelegitimasi untuk memimpin.

Pertanyaan cerdasnya. Lalu siapa yang memberi ’pulung’? Lalu apakah Indonesia yang maha luas ini terdistorsi hanya Indonesia-Jawa? Dua pertanyaan tersebut sama sulitnya dengan menjelaskan, banyak saudara-saudara non Jawa lebih Jawa ketimbang orang Jawa sendiri. Itu artinya tataran berpikirnya tidak semata-mata kekuatan argumentasi tetapi mesti melibatkan kekuatan emosi dan rasa dalam bingkai sistem budaya.

Hubungan Kekuasaan

Sebagai sebuah makrokosmos, alam adalah pelindung bagi keseluruhan manusia yang adalah makluk mikrokosmos. Relasi makro-mikro dalam terminologi kekuasaan tradisonal harus mengedepankan keseimbangan. Keseimbangan adalah kata kunci terselenggaranya tata kelola alam-manusia secara baik. Ketika manusia menghormati alam bukan berarti manusia itu menyembah alam. Tetapi memperlakukan alam secara baik.

Mbah Maridjan adalah contohnya. Ia warga biasa namun sedemikian popular melampaui perkiraan ketika gunung Merapi menjadi sorotan. Sebagian orang menganggap ia aneh. Ketika dilarang mendekati gunung dan polisi terus menjaganya, malah juru kunci gunung Merapi ini raib. Dua hari kemudian dia turun dengan berita bahwa mbah Merapi belum meletus, namun bencana kemungkinan berasal dari selatan. Akal sehat sebagian orang akan berpikir, siapa orang ini. Tetapi ia tidak terlampau menghiraukan. Baginya Merapi ibarat makluk, itu sebabnya seolah-olah ia bisa berkomunikasi.

Memahami pola hubungan kekuasaan di Indonesia sejatinya tidak sulit juga tidak mudah. Nilai-nilai rasionalitas dan obyektifitas ternyata tidak sepenuhnya dapat dijadikan instrumen mengukur validitas dan reliabilitas sesuatu. Ada tolok ukur lain yang melampaui ukuran-ukuran normal. Nyata ada, dapat dikatakan tetapi tidak bisa dijelaskan dan semua orang diharap maklum.

Fenomena alam marah tiga tahun beruntun tsunami Aceh (2004), gempa Nias (2005) dan gempa Yogya (2006) adalah isyarat alam. Peneliti gempa pasti dengan mudah menjelaskan jika ini terjadi karena tabrakan dua lempeng Australia dan Asia yang secara periodik berlangsung sekian ratus tahun sekali. Bahwa mengapa lokasi yang dipilih adalah dua daerah istimewa, jelas akan diargumentasi dengan penjelasan normatif. Memang pertemuan dua lempeng itu berdekatan dengan kedua daerah tersebut. Titik. Tidak ada diskusi lanjutan.

Sebaliknya menjelaskan dinamika kekuasaan politik tidak bisa menganut standar baku seperti itu. Kita ambil contoh sederhana, apa raisson d’entre pak Gamawan menunjuk seseorang yang sebelumnya tidak dikenal kiprahnya di dunia pariwisata, seni dan budaya tiba-tiba menjadi kepala dinas dibidang itu? Alasan dan pertimbangan apa, tak perlu publik tahu. Sepenuhnya hak prerogatif sang gubernur. Itu artinya tidak semua hal yang secara standar terukur dan teruji, akan demikian pula hasilnya.

Persis itulah yang harus dipahami. Banyak logika yang tersesat bukan karena kecerdasan intelektualitas tetapi justru terjebak dalam perangkap emosionalitas dan sentimentalitas. Sebagian besar kita bertindak bukan apa yang dipikir tetapi apa yang dirasa. Jika masyarakat jauh mengedepankan rasa dan tidak rasio, sewajarnyalah masyarakat juga mereproduksi pemimpin yang dominan rasa ketimbang rasio.

Indonesia sekarang memang bukan kerajaan Mataram tempo dulu apalagi bagian dari Sunda Nusantara. Kekuasaan adalah pengejawantahan sistem demokrasi. Itu sebabnya penerima mandat kekuasan bukan karena diberi tetapi diperjuangkan. Karena hasil sebuah perjuangan, maka penerima harus melaksanakannya sebagai sebuah amanat agung yang mesti dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab.

Bahwa dalam melaksanakan kekuasaan alam marah dan tidak bersahabat dalam rupa bencana banjir, KA tabrakan, longsor, pesawat jatuh bahkan gempa dan tsunami, semua itu mesti diterima dalam satu keyakinan iman bahwa Tuhan pasti punya rencana terbaik untuk umatnya. Tidak sehasta pun manusia dapat menambah umurnya jika Tuhan yang memiliki hidup ini tidak menghendaki.

Demokrasi adalah pintu kesetaraan dan jalan kesejajaran. Jika ingin berkuasa tidak perlu meniru gaya Ken Arok membunuh Tunggul Ametung penguasa Kerajaan Singosari. Tidak perlu pula menunggu pulung jatuh dari langit seperta era raja-raja Mataram. Atau tergesa-gesa mengganti namanya menjadi berakhiran NE atau NO. Yang dibutuhkan sekarang adalah mandat rakyat. Pulungnya adalah wahyu yang diwejawantahkan dalam amanat dan pilihan rakyat.

Dalam situasi yang sulit pasca kemelut ekonomi, datangnya berbagai bencana mesti ditangkap dalam spirit untuk ingat dan semakin mendekat kepada Tuhan. Kita kokohkan semangat solidaritas sebagai sebuah ‘nation state’ di atas pilar pluralitas baik etnik, agama, ras dan golongan. Jangan saling menghakimi. Kita ikat spirit kekeluargaan berbangsa dalam ikatan saling menopang. Jika semua dapat dirasakan oleh seluruh komponen anak bangsa, percayalah damai akan tumbuh di bumi pertiwi ini dan keadilan akan menjenguk dari angkasa Indonesia.

Tidak ada komentar: