Jumat, 23 Mei 2008

Transparansi dan Akuntabilitas Pajak Dalam Institusi Partai Politik

Gatut Priyowidodo

Dosen Ilmu Komunikasi FIKOM UK Petra Surabaya

Kendatipun termasuk cakupan subyek pajak yang potensial, ternyata hingga saat ini belum ada laporan resmi yang menyebutkan peringkat kesadaran membayar pajak pada institusi partai politik di Indonesia. Ironisnya, dibanding wajib pajak-wajib pajak lain baik yang bersifat korporasi maupun perorangan, partai politik tergolong institusi yang tak diperhitungkan (uncountable). Belum ada penjelasan resmi mengapa Direktorat Jendral Pajak kurang berminat melakukan terobosan peringkatisasi kesadaran membayar pajak di sektor partai politik ini.

Hipotesis awal paling tidak memunculkan tiga jawaban keraguan. Pertama, partai politik meski secara institusi amat potensial namun secara finansial mungkin tidak terlalu prospektif dalam angka-angka pemasukan rupiah. Kedua, eksistensi partai politik sebagai subyek pajak kerap timbul tenggelam seiring jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu. Ketiga, sebagai sebuah organisasi atau badan, partai politik belum menempatkan dirinya sebagai subyek pajak yang berkesadaran partisipatoris secara penuh.

Terlepas tepat-tidaknya hipotesis di atas, yang hendak dielaborasi melalui tulisan ini adalah apakah partai politik harus melaksanakan kewajiban pajaknya secara transparan dan akuntabel dalam interaksinya dengan penyelenggaraan kehidupan bernegara?

Memahami Dasar Hukum

Mayoritas kalangan aktivis partai-politik berasumsi bahwa partai politik adalah lembaga yang tidak kena pajak. Asumsi ini seolah menemukan pembenar tatkala dalam Undang-Undang Partai Politik (UU No.31 Th.2002 maupun UU No.2 Th. 1999 dan juga UU Keparpolan-sebelum-sebelumnya) baik dalam tujuan umum maupun khususnya ditegaskan bahwa pendirian partai politik adalah untuk mewujudkan cita-cita nasional dan mengembangkan kehidupan demokrasi serta memperjuangkan cita-citanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Praktis semua tujuan diarahkan untuk kepentingan masyarakat melampui kepentingan personal maupun organisasional yang berorientasi kepentingan ekonomis. Itu sebabnya kuat berkembang pemikiran di kalangan parpol bahwa institusi kepartaian seharusnya lembaga yang bebas pajak. Parpol harus memperoleh perlakuan khusus mengingat karakteristik tujuan pendiriannya yang juga spesifik.

Namun tidak demikian halnya dengan pandangan kalangan perpajakan. Menurut Hidayat (2002:15) sekurangnya terdapat empat dasar hukum yang kuat memasukkan partai politik sebagai subyek pajak yang meliputi :

· Pertama, organisasi sosial politik merupakan subyek pajak yang berupa badan, yang berkewajiban mendaftarkan diri ke KPP terdekat untuk memperoleh NPWP sebagaimana badan-badan lainnya. Hal mana diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2000 Pasal 2 ayat (1).

· Kedua, partai politik memperoleh tambahan ekonomi (penghasilan) darimanapun dan dalam bentuk apapun adalah penghasilan tersebut merupakan obyek pajak yang harus diperhitungkan, merujuk pada UU No. 17 Tahun 2000 Pasal 4 ayat (1).

· Ketiga, parpol wajib memotong pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada penerima penghasilan sesuai dengan ketentuan UU No. 17 Tahun 2000 Pasal 21 dan Pasal 23 dan ketentuan-ketentuan khusus yang menyangkut cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 dan Pasal 23.

· Keempat, parpol juga harus menaati beberapa ketentuan perpajakan seperti badan hukum lainya yang secara teknis diatur dalam Surat Edaran No. SE-26/PJ.42/1999.

Mengikuti empat rambu yuridis perpajakan tersebut, amat jelas bahwa partai politik sebagai sebuah institusi subyek pajak sangat prospektif untuk dikenakan pajak. Bahkan jika mengacu pada UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yakni Pasal 17 ayat (1) bahwa keuangan partai politik berasal dari sumber pokok yang meliputi; (a) iuran anggota, (b) sumbangan yang sah menurut hukum, dan (c) bantuan dari anggaran Negara, maka kalangan parpol harus menerima realitas bahwa institusinya tidak berbeda jauh dengan badan-badan serupa lainnya seperti yayasan.

Bahkan jika mau ditelisik lebih jauh tiga sumber pendapatan partai politik di atas barulah yang eksplisit tercantum dalam undang-undang. Belum lagi termasuk usaha-usaha parpol dalam memobilisasi dana dalam bentuk yang lain. Misalnya, dari sektor kewajiban anggota partai politik yang duduk sebagai anggota legislatif (DPR/DPRD) atau lembaga politik tertentu lainnya, serta sumbangan dari mereka yang diuntungkan dengan produk kebijakan yang difasilitasi oleh parpol tertentu.

Partai politik memang bukan perusahaan komersial dengan orientasi utama akumulasi modal dan keuntungan. Tetapi itu tidak berarti bahwa mekanisme kerja di lembaga keparpolan semata-mata hanya dijalankan dengan misi-misi sosial dan bersifat sukarela. Partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum (Pasal 1 UU No. 31 Th. 2002).

Itu berarti jika keinginan kuat adalah untuk melayani dan memperjuangkan kepentingan masyarakat maka tidak mungkin lembaga itu dibentuk hanya bermodalkan semangat dan antusiasisme belaka. Kecukupan modalpun harus diperhitungkan mengingat partai politik harus pula memiliki sarana dan prasarana layaknya perusahaan komersial. Bahkan bila ingin ikut pemilu selain lolos verifikasi juga harus segera memiliki cabang di lebih dari separo provinsi yang ada di Indonesia. Di masing-masing provinsi tersebut harus pula memiliki pengurus di lebih dari separo jumlah kabupaten/kota yang ada di wilayah tersebut (Pasal 2 Ayat (3)). Logika dagangnya, mana mungkin bisa mendirikan semua itu tanpa investasi modal yang kuat?

Kuatnya kapitalisasi adalah juga cerminan keseriusan kalangan parpol mengurus institusinya. Tidak masuk nalar mengeluarkan banyak biaya tanpa berpikir ‘break event point’. Paling tidak, mendirikan partai politik juga harus menyimetriskan langgam berpikir bisnis. Tuntutan modernisasi partai politik yang laku jual harus mampu dikemas selaras dengan selera konsumen (konstituen) tanpa tentunya mengabaikan dimensi ideologis perjuangan partai. Maka jatidiri partai harus jelas. Partai selain mesti dikelola secara professional juga harus menampilkan citra yang bersih, elegan, transparan dan akuntabel. Tidak mungkin menggagas negara yang idealistik, tanpa mampu memulai menajemen kepartaian yang transparan dan akuntabel dalam skala mikro. Perilaku mikro mesti diwejawantahkan bukan dipidatokan. Maka konsistensi dan kejujuran dalam memenuhi kewajiban pajak parpol kepada negara harus dibuktikan bukan dibiaskan, agar tindakan itu menjadi teladan dan bukan olok-olokan.

Memahami Kewajiban Pajak

Memperhatikan dasar hukum di atas, maka parpol sebagai sebuah institusi politik yang otonom juga tidak bisa menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban pajak yang otonom. Artinya tindakan pajak yang diperlakukan kepada parpol sesuai dengan hukum dan undang-undang adalah tindakan perpajakan yang menerjemahkan prinsip ‘equality before the law’. Tidak ada pengistimewaan perlakuan oleh sebab kesederajatan semua institusi di depan pajak. Yang ada hanyalah besar kecilnya skala tanggungjawab pajak.

Berkait kewajiban pajak parpol, Hidayat (2002) mencatat sekurangnya terdapat 8 hal yang harus diperhatikan yakni :

q Parpol wajib memiliki NPWP

q Memotong PPh, Pasal 21 bila ada pembayaran gaji pengurus partai atau pegawai yang bertugas di kantor partai, menyampaikan SPT masa PPh setiap bulan dan kewajiban menyampaikan SPT tahunannya.

q Memotong PPh Pasal 23 Final atas sewa yang dibayar bila menempati gedung kantor yang disewa.

q Dipotong PPh Pasal 23 Final atas bunga simpanan, deposito, jasa giro yang diperoleh parpol dari pihak lain.

q Dalam hal parpol memiliki penghasilan diwajibkan melaporkan PPh Pasal 25 badan dalam bentuk angsuran PPh bulanan dan menyampaikan SPT Tahunan Badan.

q Apabila parpol berhubungan dengan Perusahaan yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam hal pengadaan barang atau alat-alat sudah tentu punya kewajiban untuk melunasi PPN atau PPn BM atas BKP/JKP yang diterima.

q Kewajiban membayar PBB yang merupakan kewajiban pajak obyektif, maka setiap parpol sudah pasti mempunyai kewajiban untuk itu, bila parpol menguasai/ memiliki/menggunakan Tanah dan atau Bangunan.

q BPHTB juga merupakan kewajiban pajak yang harus dilaksanakan oleh parpol bila melakukan transaksi menjual atau membeli tanah dan atau bangunan.

Kewajiban-kewajiban parpol di atas memperjelas fakta bahwa tanggungjawab partai tidak sebatas tanggungjawab parpol dengan pemilihnya, tetapi juga tanggung jawab parpol dengan institusi perpajakan. Apapun alasannya partai politik hendaknya pula memainkan peran pelopor dalam upaya memberikan pelaporan kekayaan partai secara bersih dan transparan. Parpol harus berani membersihkan diri dari segala bentuk praktek manipulatif meskipun hal tersebut bakal banyak memperoleh tentangan dari segala penjuru khususnya dari pihak-pihak yang terlanjur memperoleh banyak previlise.

Potensi Pajak Partai Politik

Sekalipun Pemilu 5 April 2004 yang lalu diikuti 24 partai politik ternyata hanya 16 partai politik yang berhak menempatkan wakilnya di DPR, sementara sisanya harus puas hanya sebagai penggembira hajatan politik lima tahunan tersebut. Berikut adalah tabulasi partai politik yang memperoleh suara di DPR RI.

No.

Nama Partai Politik

Jumlah Kursi

1.

Partai Golkar

127

2.

PDI-P

109

3.

PPP

57

4.

Partai Demokrat

56

5.

PAN

53

6.

PKB

52

7.

PKS

45

8.

PBR

14

9.

PDS

13

10.

PBB

11

11.

PPDK

4

12.

Partai Pelopor

3

13.

PKPB

2

14.

PKPI

1

15.

PPDI

1

16.

PNI Marhainisme

1

17

Jumlah

550

Jumlah suara pada dasarnya juga mencerminkan jumlah uang yang masuk ke kas partai. Sebab negara akan memberi sumbangan ke masing-masing partai berdasarkan jumlah suara atau pemilih yang berhasil dikumpulkan oleh partai kali seribu rupiah. Itu berarti jika Partai Golkar bisa mengumpulkan lebih dari 20 juta pemilih maka sumbangan anggaran negara yang masuk ke kas partai tersebut juga akan lebih dari 20 milyar rupiah. Sebaliknya semakin kecil suara yang didulang dalam pemilu, maka sumbangan uang pembinaan dari negara pun akan kecil diterima oleh partai.

Terlepas dari besar kecilnya pendapatan partai dari sektor penerimaan sumbangan APBN, kantor perpajakan tetap harus mencermati bahwa partai politik pun adalah sebuah institusi yang potensial dan prospektif dikenakan wajib pajak. Pemungutan pajak jangan hanya semata-mata dilihat dari besar kecilnya jumlah uang yang masuk, namun patut diperhatikan pula dimensi kedisiplinan, ketaatan dan kekonsistenan wajib pajak terhadap kewajiban pajak yang menjadi tanggungjawabnya. Terbangunnya relasi yang baik antara subyek pajak dengan kantor perpajakan selain penting, juga menstimulasi adanya interaksi yang simbiosis mutualisma.

Melalui interaksi yang saling membutuhkan tersebut, lama-kelamaan citra negatif kantor pajak sebagai agen pemungut cukai, pemalak kekayaan orang dan sebisa mungkin dihindari akan terkikis. Masih banyaknya subyek pajak yang terlibat transaksi manipulatif pajak dengan oknum-oknum perpajakan harus lekas dihentikan. Masih kokoh berakar bahwa membayar pajak merupakan kewajiban instruksional dan bukannya manifestasi tanggungjawab warga negara yang taat.

Itu sebabnya menumbuhkan kesadaran pajak bukan pekerjaan sesaat, tetapi proyek besar yang membutuhkan kebersamaan. Selain pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Pajak dituntut membuat regulasi yang pro pajak, juga harus bisa mendorong terciptanya atmosphere bahwa mekanisme dan alur kerja pajak sudah berjalan secara baik, transparan dan akuntabel.

Berkembangnya pemikiran bahwa parpol bukanlah lembaga yang tersentuh wajib pajak harus pula dipahami dalam konteks ini. Tidak hanya parpol memang, banyak lembaga, badan atau perorangan yang berusaha menghindari pajak bukan karena tidak mau, tetapi kerap mempertanyakan kemana dan untuk apa pajak yang telah dipungut tersebut. Jalur formalnya memang ke kas negara. Setelah di sana kemudian kembali ke pos-pos departemen dalam bentuk pembiayaan DIP, lalu dikorupsi itulah yang membuat skeptis masyarakat mengisi secara jujur SPT Tahunannya. Maka terbangunnya relasi yang baik antara subyek pajak dan KPP selain perlu juga penting untuk menjaga saling kepercayaan guna mencegah ‘potential loss’ pajak.

Eksistensi Partai Politik dan Kesadaran Pajak

Jika mengacu pada UU No 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan serta Surat Edaran No. SE-26/PJ.42/1999 tentang Perlakuan Pajak Bagi Partai Politik maka jelas di sana diatur bagaimana posisi partai politik tersebut. Partai politik ditempatkan sebagai sebuah subyek pajak dengan segala konsekuensinya. Hanya saja aturan tersebut harus juga memperhatikan bagaimana eksistensi partai politik tersebut. Kendatipun aturan tetap aturan namun implementasinyapun harus fleksibel.

Berbeda dengan perusahaan komersial bahwa maju tidaknya usaha ditentukan tingkat akumulasi keuntungan yang bisa dihimpun, partai politik justru mengandalkan perolehan suara pemilih. Survival partai politik amat tergantung seberapa banyak rakyat mempercayakan pilihannya kepada partai politik tersebut. Bahkan jika tidak bisa melewati ketentuan dari UU No. 12 Tahun 2003 Pasal 9 tentang batas minimal (electoral threshold) sebesar 3 % maka nasib parpol tersebut pastilah tamat.

Nasib buruk parpol tersebut juga berimplikasi terhadap eksistensinya sebagai subyek pajak. KPP jelas tidak mungkin memperhitungkan sebuah subyek pajak yang tidak lagi memenuhi kriteria wajib pajak. Ironisnya berdasarkan hasil pemilu legislatif 5 April 2004 lalu, harus ada sekurangnya 8 parpol yang dihapus bukukan jika aktivitas kepartaian tidak berdenyut lagi. Tidak mengherankan bila berkembang persepsi bahwa semakin baik kehidupan demokrasi semakin kondusif pula terhadap pungutan pajak yang dikumpulkan.. Itu berarti terbukanya ruang demokrasi yang baik berpotensi mendorong pelaporan pajak yang jujur dan adil.

Subyek pajak termasuk partai politik, pasti mengisi form SPT-nya dengan benar dan obyektif karena tahu bahwa uang pajak yang dikumpulkan digunakan secara tepat, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk misi seperti ini partai politik bisa memainkan peran yang sangat besar. Terlebih bagi parpol yang incumbent (memerintah). Maka kesempatan untuk menstimulasi peningkatan kesadaran wajib pajak terbuka luas. Bahkan sekarang sedang dibahas RUU Pajak yang baru dan diharapkan sudah bisa diundangkan paling lambat 1 Januari 2006 (Kompas, 24-8-2005)

Indonesia sebetulnya sangat potensial menjadi negara mandiri dan bebas utang jika pada diri seluruh rakyat telah bersemai benih kesadaran pajak. Sebelum menjadi kesadaran berpajak yang partisipatoris, pemerintah harus mengambil langkah terobosan melalui perundangan dan perilaku birokrasi yang patut diteladani. Jangan sampai moto, orang bijak taat pajak menjadi bumerang. Rakyat disuruh taat pajak, justru banyak perilaku koruptif, penyalahgunaan wewenang (abuse of power) merajalela dimana-mana termasuk di instansi perpajakan yang terkenal dengan sebutan ‘wilayah basah’. Keteladanan menjadi kata kunci agar kampanye sadar pajak membumi.

Ditemukannya banyak manipulasi pajak serta laporan fiktif badan usaha adalah cermin retak tumpulnya penegakan keadilan. Kalangan aktivis parpol harus menjadi ujung tombak agar praktek-praktek pembusukan internal birokrasi disudahi. Tidak mudah memang. Tapi harus ada upaya nyata sekalipun kecil hasilnya. Citra diri parpol yang bersih sebetulnya adalah ‘raw material’ terselenggaranya pemerintahan yang bersih pula. Tidak mungkin membangun sebuah tatanan negara yang demokratis dan berkeadilan tinggi bila pasokan para calon pejabat publiknya bermental permisif dan koruptif. Perilaku adalah pantulan paling nyata dari kata hati. Jika hati bersih, tindakan politik apapun termasuk dalam hal mengisi kewajiban pajaknya juga bersih dan jujur.

Penutup

Partai politik sebagai subyek pajak tidak bisa menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban pajaknya. Sekalipun partai politik tersebut memegang tampuk kekuasaan tetap tanggungjawab membayar pajak baik selaku institusi maupun pelaksana kegiatan parpol tetap harus dijalankan. Instansi perpajakan harus mampu membuat terobosan baru agar partai politik selain memiliki kesadaran pajak juga terdorong menjadi pelopor subyek pajak yang patuh.

Timbul tenggelamnya partai politik dalam pentas panggung politik seiring dengan besar kecilnya jumlah suara yang diperoleh berimplikasi terhadap tingkat konsistensi parpol tersebut sebagai subyek pajak. Itu sebabnya memperlakukan partai politik berkait dengan kewajiban pajak harus lebih cermat.

Tidak ada komentar: