Kamis, 06 November 2008

Dari Keraton Ke Istana Merdeka


Oleh Gatut Priyowidodo
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FIKOM - UK Petra Surabaya

Simbol kemegahan kekuasaan adalah istana. Megah tidak hanya bangunan fisiknya namun juga atribut yang melekat didalamnya. Atribut itu bisa mulai dari tingkat keamanannya yang sangat high protective zone hingga yang bersifat sakral.
Itu sebabnya ketika Orde Baru berkuasa, Istana Merdeka bukan sebagai istana rakyat tetapi istana Pak Harto. Tak banyak yang bisa datang ke sana sekalipun hanya untuk menghampiri. Selain pemeriksaan yang superketat, juga hanya orang-orang yang terpilih yang bisa singgah. Tidak mengherankan, bisa masuk Istana Merdeka adalah sebuah kebanggaan sekaligus kehormatan.
Desakralisasi istana terjadi ketika Pak Harto turun tahta. Semua orang berebut ingin menjadi penguasa istana. Dari sana mesin pemerintahan di seluruh wilayah republik ini dikendalikan. Kini, belum juga pemilu dihelat orang yang sesumbar ingin berkuasa di istana pun saling bersilang kata di jalanan. Pertanyaannya mengapakah orang terlalu obsesif untuk menggapai kekuasaan?

Makna Kekuasaan
Benendict Anderson mengerti betul bahwa kekuasaan di Timur sangat berbeda dengan di Barat. Bukan hanya konseptualisasi teoritiknya namun juga ke pemberian maknanya. Kekuasaan bukan sekedar ‘how to get’ tetapi ‘how to do’. Memperlakukan kekuasaan tidak cukup sekedar menyandarkan pada apa kata konstitusi, melainkan juga merawatnya sebagai sebuah amanat yang dititipkan sang Ilahi kepadanya.
Bahwa dalam kenyataanya kerap terjadi dekonstruksi kekuasaan karena beberapa kepentingan, itu tidak lebih dari upaya sang pengemban amanat lari dari titah suci yang diterimanya. Kekuasaan menjadi sangat profan karena mengabdi pada pengemban bukan kepada pemilik. Rakyat sebagai pemilik kekuasaan termanipulasi oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang lebih dominan. Pada saat seperti ini, kekuasaan mesti dikembalikan ke fitrah awalnya.
Pengembalian kekuasaan mesti sesuai prosedur dan cara-cara yang konstitutif. Siapa yang memperoleh dukungan terbanyak pemilik amanat, ialah yang paling berhak mengembalikan arah juang kekuasaan dan duduk di kursi penguasa. Mekanisme modern merebut kekuasaan hanya satu yakni pemilu. Pemilu menjadi instrumen palih valid dan sahih meluncurkan calon penguasa menuju singgasana.
Fakta itulah yang hari-hari ini kita saksikan di media, bahwa banyak anak negeri berusaha dengan segala kemampuannya untuk meretas jalan ke istana. Dari mereka yang sama sekali orang biasa hingga yang memang sejak lahir sudah menjadi anak raja atau penguasa. Dari M. Fajroel Rahman, Rizal Malaranggeng hingga Megawati dan Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Indonesia sekarang bukanlah era Singosari ketika Ken Arok merebut kekuasaan dari Tunggul Ametung dengan cara membunuh. Atau zaman Mataram ketika Amangkurat II hendak naik takta harus terlebih dulu meracun sang ayahanda Amangkurat I.
Kekuasaan adalah ikwal yang dikontestasikan. Semua elemen anak negeri ini menjadi pewaris sah untuk bisa melanjutkan estafet pemerintahan. Tidak hanya elite yang sudah dikenal publik, juga kaum awam yang sama sekali jauh dari hingar-bingar politik pun bisa memajukan diri secara personal. Kaum Samin, Marhaein, hingga saudara kita dari suku Amungme di lembah Baliem (Papua)pun memiliki kesempatan yang sama.
Tidak itu saja. Jika di AS seorang Barak Obama yang adalah keturunan warga imigran dan berkulit hitam berupaya keras bisa menghuni White House maka di Indonesia mereka yang merasa keturunan Tionghoa pun bisa mengusulkan diri untuk dipilih. Hak dasar politik semua WNI sama, baik dipilih maupun memilih.
Hanya yang perlu dipersiapkan adalah kereta penghela. Pemilu 2009 KPU mencatat ada 38 partai politik yang siap berlaga. Tentu jika persyaratan bahwa yang berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik yang menguasai kursi 20 % di DPR atau 25 % total suara (Jawa Pos, 29 Oktober 2008), tentu tidak semua partai tersebut bisa mengusulkan calon secara sendiri-sendiri.
Harus ada kompromi yang bisa dinegosiasikan. Baik itu dalam bentuk koalisi antarpartai maupun sekedar kontrak-kontrak yang bisa menggaransi mulusnya pencalonan seorang kandidat. Terpenting dari beragam hiruk pikuk tersebut adalah pribadi calon mestinya memenuhi kualifikasi populis, akseptabel, reputabel, integritas kepribadian yang kuat, berani mengambil resiko disaat yang paling emerjensi dan tidak main-main dangan korupsi.

Lalu Siapa ?
Karena praksis kekuasaan adalah personifikasi orang, maka harus ada satu yang berani tampil mengelola negeri diera turbulensi ini. Siapapun dia, tantangan di depan mata adalah memiliki nyali kuat pada situasi genting ketika rupiah meluncur tajam atau harga minyak melambung tinggi.
Bahwa keputusan itu akan beresiko melorotnya popularitas dan berimplikasi degradsi pamor tentu bukan persoalan yang utama. Justru yang perlu segera diselamatkan bukan makin membubungnya pesona pemimpin tetapi keselamatan para pemilik amanat. Siang malam yang dipikirkan hanya satu yakni rakyat. Hamburan tebar pesona via iklan di halaman utama media cetak maupun ‘prime time’ di televisi adalah sebentuk ectascy ala Boundrillard yang sejatinya melukai nurani rakyat.
Jujur ada kemajuan tapi sesungguhnya tidak sebanding dengan tingkat ongkos produksi membiayai penyelenggaraan negara ini. Jika APBN 2009 sebesar 1.122 trilyun, 170 trilyunnya masih untuk membayar cicilan bunga plus pokok pinjaman yang hingga saat ini masih mencapai 1.300 trilyun. Tentu dampak yang dirasakan rakyat sangatlah tidak signifikan. Hingga tahun kelima pemerintahan duet SBY-JK ini, secara kualitatif hidup rakyat semakin susah. Minyak tanah yang semula bisa dibeli Rp 2.400 per liter tiba-tiba harus naik menjadi di atas Rp 4.000. Pengangguran yang semula akan dikikis hingga di bawah 12 % tetapi realitanya masih bertengger di level 17 %. Demikian pula pertumbuhan ekonomi yang dirancang bisa menembus angka 6,2%, dengan adanya krisis subprime-mortgage yang kini menjalar kemana-mana, apakah target itu bisa tercapai?
Jejak rekam di atas adalah data. Tergantung bagaimana kita menginterpretasinya. Tetapi jika hampir semua rencana-rencana awal itu tidak sesuai dengan tingkat ketercapaian yang harapkan, lalu apa yang bisa diharapkan untuk lima tahun kedepannya? Mana bisa tahan rakyat yang selama ini sudah menderita lalu lebih menderita lagi. Maka pilihannya adalah mesti ada nahkoda lain yang superberani mengambil keputusan-keputusan progresif demi rakyat dan untuk rakyat.
Kesempatan lima tahun pemerintahan SBY-JK yang gagal dan hanya sedikit kenajuan tidak perlu diteruskan lagi. Tidak bisa negeri dengan beban penduduk 235 juta orang ini dibiarkan berlarut-larut dirudung problematika tanpa henti. Jika era agroindustri sudah berlalu dan sekarang memasuki era industri kreatifitas, maka terobosan pemimpin yang berani berkreatifitas mesti dihadirkan. Tidak bisa tidak. Mana bisa tahan jika rakyat terus hidup dalam kedukaan tanpa harapan hidup yang lebih baik.

Tidak ada komentar: