Jumat, 28 November 2008

Pluralitas Agama


AGAMA DAN MASYARAKAT
(Memahami Relijiusitas dan Sekularisme Perilaku Beragama Pada Masyarakat Plural di Indonesi)

Oleh Gatut Priyowidodo
[1]
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UK Petra

Terlebih dulu harus dipahami bahwa dalam perspektif ilmu-ilmu sosial menurut Surbakti[2] sekurangnya ada lima kategori untuk bisa memahami agama yakni pertama, dengan memperlakukan agama sebagai fakta sosial (kenyataan empirik yang bersifat material ataupun non material tetapi mengatasi individu untuk kemudian mempertanyakan fungsinya (akibat, konskwensi atau efeknya) terhadap fakta sosial lain seperti integrasi nasional, demokrasi dan pranata politik lainnya (perspektif Durkheimian).
Kedua, dengan memahami agama sebagai tindakan sosial yaitu tidakan yang mempunyai makna (bertujuan) bagi pelakunya tetapi dipengaruhi oleh dan atau mempengaruhi orang lain (perspektif Weberian). Ketiga, dengan memandang agama sebagai instrumen untuk mencari, mempertahankan dan membenarkan kepentingan ekonomi mereka yang memiliki alat dan sarana produksi atau agama sebagai reproduksi hubungan produksi. Keempat, dengan menafsirkan agama sebagai sumber preskripsi tentang masyarakat, negara dan warga (beserta hubungan ketiganya) yang dicita-citakan. Kelima, dengan mengkaji agama dari dimensi kekuasaan (religio-political power) .
Bertolak dari lima kategorisasi kajian agama tersebut, maka titik tekan pembahasan tema di atas berkecenderungan dengan teoritisasi struktural-fungsional. Asumsi dasar pendekatan struktural-fungsional adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap lainnya. Pusat perhatiaan pendekatan ini adalah kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan. Emile Durkheim, Robert K. Merton[3] yang adalah pentolan teori ini berpendapat bahwa obyek pendekatan ini adalah fakta sosial seperti : pranata sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial dan sebagainya.
Teori ini dinilai amat ideologis dan konservatif, sebab amat menekankan keteraturan (order). Tetapi tetap mengakui jika struktur masyarakat itu selalu berubah, namun perubahan yang terjadi adalah secara berangsur-angsur dan tetap memelihara keseimbangan.
Jika dikontraskan dengan teori konflik dan marxis maka sekurang-kurangnya akan terformulasi demikian; teori konflik/ marxis dalam melihat masyarakat adalah dinamis dan penuh konflik, sebaliknya teori fungsional adalah statis atau berubah namun secara gradual serta penuh keseimbangan. Setiap institusi, dalam teori konflik adalah mengkonstribusi disintegrasi begitupun pada teori marxis karena perbedaan kelas selalu akan muncul pertentangan antar kelas. Sedang bagi teori kedua adalah menyumbang adanya stabilitas. Bila dalam teori konflik/ marxis keteraturan tercipta oleh karena unsur pemaksaan dari yang berkuasa tetapi teori struktural-fungsional melihat bahwa ‘order’ itu hadir karena masyarakat terikat oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum.
Berbekal kerangka teori di atas, maka agama dalam relasinya dengan masyarakat atau dengan kata lain untuk membangun hubungan horisontal (civil dengan civil) memang tepat dikaji berdasarkan perspektif Durkhemian yang mempertanyakan what religion does dan bukannya what religion is (perspektif Weberian)[4]. Agama dalam hal ini dilihat mempunyai fungsi integrasi terhadap warga masyarakat yang berbeda latar belakang sosio -budaya dan ekonomi politik tetapi memeluk agama yang sama dan fungsi lejitimasi terhadap kekuasaan ataupun pembangunan. Atau secara khusus diberi pengertian sebagai suatu sistem yang terpadu mengenai kepercayaan-kepercayaan praktek-praktek yang berhubungan dengan benda-benda suci ... benda-benda khusus (set apart) atau terlarang -- kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatu dalam satu komunitas yang disebut umat (gereja), semuanya yang berhubungan dengan itu[5] .
Dan dengan lain perkataan meminjam istilah Benindict Anderson dan Ninian Smart[6] , agama memiliki kemampuan memerintahkan loyalitas komunal dan lejitimasi kewenangan. Sedang Clifford Geertz[7] melihat agama sebagai upaya untuk mengintegrasikan realitas hidup setiap hari dengan mengambil pola yang koheren pada level yang lebih dalam. Dan Robert Bellah[8] menambahkan bahwa agama dilihat sebagai upaya untuk memahami fenomena tertib dalam ‘resiko iman’ untuk menghadapi ketidakpastian dan ketidakmampuan memperkirakan sesuatu.

Interpertasi Agama: Ilmuwan vs Teolog
Dalam konteks Durkemian, agama memang tidak dipahami sebagaimana kaum teolog menginterpertasikannya. Yakni agama seperti penjelasan Hans Kung (1986)[9] adalah suatu realisasi sosio-individu yang hidup (dalam ajaran, tingkah laku dan ritus) dari suatu relasi dengan yang melampau kodrat manusia (Yang Kudus) dan dunianya dan berlangsung lewat tradisi manusia dan dalam masyarakatnya. Atau jika dimasukan dalam klasifikasi Smith[10] pengertian semacam itu sama dengan agama sebagai sistem keyakinan yang mengacu pada eksistensi ideologi-ideologi keagamaan, yang kira-kira merupakan batang tubuh dari doktrin agama itu. Yang tentunya penjelasan seperti itu amat berbeda dengan yang dianut kaum fungsionalis.
Menurut kalangan struktural-fungsionalis agama dipandang sebagai institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun mondial[11] . Dengan demikian agama hanya merupakan suatu bentuk tingkah laku manusia yang dilembagakan yang berada di lembaga-lembaga sosial lainnya. Atau mengikuti kategorisasi Smith lagi, dalam dimensi demikian agama dianalisis berdasarkan pengaturan kemasyarakatannya yang mengacu pada eksistensi struktur-struktur sosio-religius yang mengatur kehidupan sosial interen umat beragama bersangkutan. Dalam konteks yang hampir sama, meminjam istilah Kung[12] agama dengan ajaran-ajarannya tersebut dapat dibagi ke dalam empat peran yang terpisah yakni peran iluminatif (menerangi), profetis (kenabian), liberatif (membebaskan) dan transformatif (mengubah).
Seiring dengan diskusi di atas, secara spesifik guna lebih memahami tentang fungsi agama meurut Durkheim terlebih dulu tentunya mengemukakan dua kategori definisi dan sifat agama oleh Roland Robertson (1970) yakni inklusif dan eksklusif [13]. Definisi inklusif merumuskan agama dalam arti seluas mungkin, yang memandangnya sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan ‘kesucian’ atau yang diorientasikan kepada ‘penderitaan manusia yang abadi’. Kategori ini tidak saja melihat agama sebagai sistem-sistem yang teistik yang diorganisasi sekitar konsep tentang kekuatan supranatural tetapi juga berbagai sistem kepercayaan nonteistik seperti komunisme, nasionalisme, atau humanisme. Sebaliknya, difinisi ekslusifisme membatasi istilah agama itu pada sistem-sistem kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan atau kekuatan supranatural.
Dalam kategorisasi demikian ini menurut Robertson, pengertian agama Durkheim lebih mengacu kepada definisi inklusif. Suatu agama menurut Dukheim adalah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktek-praktek yang bertalian dengan hal-hal yang suci yakni hal-hal yang dibolehkan dan yang dilarang - kepercayaan dan praktek-praktek yang mempersatukan komunitas moral yang disebut Gereja, semua mereka yang terpaut satu sama lain. Bagi Durkheim, karakteristik agama yang penting adalah bahwa agama itu diorientasikan kepada sesuatu yang dirumuskan oleh manusia sebagai suci/ sakti, yakni obyek referensi, yang dihargai dan malah dahsyat.
Kemunculan agama menurut Durkheim[14] karena manusia hidup dalam masyarakat dan dengan demikian mengembangkan kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu sebagai akibat dari kehidupan kolektif mereka. Agama ada karena agama dapat memenuhi fungsi-fungsi sosial tertentu yang penting yang tak dapat dipenuhi tanpa agama. Peranan utamanya adalah sebagai integrator kemasyarakatan. Agama mengikat orang-orang menjadi satu dengan mempersatukan mereka sekitar seperangkat kepercayaan, nilai, dan ritual bersama. Dengan demikian agama membantu memelihara masyarakat atau kelompok sebagai suatu komunitas moral.
Sementara itu Malinowski[15] lebih menekankan bahwa fungsi agama tersebut tidak berada jauh dari tiga aspek yang terkandung dalam agama yakni dogma, ritual dan etika. Dogma dilukiskan sebagai narasi panjang berisi aturan-aturan yang memberi affirmasi (penegasan) untuk berperilaku. Ritual adalah merupakan refleksi kesadaran beragama atau perasaan beragama yang selalu berwujud penyembahan/ pemujaan. Etika adalah menekankan bagaimana ucapan dan perilaku diselaraskan untuk membangun keseimbangan hubungan dengan individu yang lain.
Hedropuspito[16], yang secara khusus mengkaji sosiologi agama melihat bahwa fungsi agama bagi manusia dan masyarakat meliputi lima hal yakni fungsi edukatif, fungsi penyelamatan, fungsi pengawasan sosial, fungsi memupuk persaudaraan dan fungsi transformatif. Fungsi edukatif dan penyelamatan yang dikemukakan Hendropuspito tersebut dalam perspektif Durkheimian lebih banyak menjelaskan agama dari dimensi sakral (sacred). Sedang tiga fungsi yang terakhir pengawasan sosial, memupuk persaudaraan dan transformatif berkecenderungan menjelaskan dimensi profan agama dalam mengatur kehidupan manusia.

Memposisikan Kejelasan Peran atau Fungsi Agama
Sejatinya tidak perlu sampai terjadi benturan apa-apa jika masing-masing pihak paham betul apa yang menjadi wilayah kewenangan atau otoritasnya. Negara memiliki kewenangan untuk mengatur terselenggaranya kehidupan bergama atas nama pemegang kekuasaan sah untuk memberikan perlindungan kepada semua agama yang dinaungi. Sementara setiap agama juga mesti secara bertanggungjawab mengatur tata kelola internal ajaran agamanya secara benar.
Eksistensi Indonesia karena manifestasi dari kontrak sosial masyarakat yang beragam agamanya. Maka jika kita mau terus melanjutkan kontrak social tersebut tidak ada pilihan lain kecuali harus saling menumbuhkan perasaan ‘sense of belonging’ terhadap Indonesia yang sesungguhnya bukan milik salah satu golongan tetapi juga milik golongan lain.
Menyeragamkan persepsi bahwa negara ini dikonstruksi dari beragam kelompok agama tetap ditempatkan sebagai ‘primus interpares” dan jangan sampai tereduksi bahwa Indonesia ini milik salah satu agama dan yang lainnya menumpang. Perilaku sabotase (dalam tanda petik), terhadap kepemilikan sah negara ini jelas menyinggung elemen kekuatan bangsa yang lain.
Implikasi lanjutan dari ketersinggungan kolektif komponenen bangsa yang lain oleh kelompok yang lain jelas sangat tidak kondusif bagi masa depan bangsa ini. Bangsa ini perlu kesatuan staminina untuk mampu keluar dari kemelut. Pertengkaran dan pertikaian kepentingan atas nama dominasi mayoritas, sesungguhnya hanya menggiring semakin terpuruknya bangsa ini.
Harus diakui, bahwa sangat tercium aroma yang kurang sedap terhadap kearah mana negara ini akan dibawa. Pelan tapi pasti elemen minoritas akan semakin termarjinalkan jika tidak ada kebesaran dan kelapangan hati pihak mayoritas untuk mengakomodasi kepentingan yang kecil.
Demokrasi bisa bertuah menyakitkan karena memang setiap kebijakan selalu diambil berdasarkan suara terbanyak. Secara matematis dan logika akan selalu terjadi bahwa pihak mayoritas yang menang, Sekalipun sesungguhnya belum ada jaminan bahwa yang mayoritas ituyang benar. Maka jika yang tidak benar itu dilakukan mayoritas maka terjadilah apa yang disebut tirani mayoritas.
Bukan karena tidak ada pertimbangan, jika para ‘founding fathers’ kita dulu memilih opsi tidak Negara agama juga tidak Negara sekuler. Artinya karena latar belakang masyarakat yang pluralistic tersebut maka konstruksi Negara ini mau tidak mau mesti menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing komponen anak bangsanya.
Ketatnya pertimbangan itulah yang selalu memberikan energi alternative, bahwa ketika kemelut mendera bangsa ini sesungguhnya bukan salah satu elemen bangsa saja yang merasakan tetapi semuanya. Jika masing masing kita merasakan bahwa susah senang kita tanggung bersama, mengapa kita harus saling menyingkirkan. Bak kata pepatah ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.
Maka tidak bisa lain Indonesia kedepan mesti direkonstruksi agar berjalan di trek yang benar. Konstitusi sebelum amademen adalah buah pikir cemerlang yang telah memberi ‘space’ yang cukup pas kearah mana sejatinya negara dan bangsa ini akan dibawa.


Pertanyaaan Yang perlu di respon:
Ayu,laura, vony,sandra,natasya,yuventa,prisilia, shena dan desy (kelompok 2) dan kelompok 3 yang belum menjawab dalam diskusi Jumat (28/11) juga bisa memberi masukan:

Apa pendapat saudara tentang pluralitas beragama dan perebutan pengaruh agama untuk kepentingan politik para elite di Indonesia?
Jelaskan berdasarkan pendapat anda
!.


[1] Drs.Gatut Priyowidodo,M.Si. Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UK Petra dan Pendiri Humanity and Social Community Studies (HSCS) Surabaya
[2] Ramlan Surbakti , Agama Dalam Perspektif Ilmu-Ilmu Sosial, Makalah Seminar Riset Hubungan Negara dan Agama Semester 3 (Surabaya: PPs-Unair , 1997)
[3] Margaret M.Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: Rajawali Pers, 1994) h.23-50.
[4] Ramlan Surbakti , “Agama .... “. hlm. 1-2
[5] ------------------ , Classical Sociological Theories - Teaching Materials From Internet (Surabaya: For Graduated Students of Social Siences University of Airlangga, tanpa tahun (1997 ?) hlm. 10
[6] Mark Jurgenmeyer, “The Religious State” in Comparative Politics, Vol.27 No.4 July 1995 p. 379-477.
[7] idem
[8] idem
[9] Hans Kung,, “The Debate of the Word Religion” Concilium Februari 1986. Dikutip dalam YB. Sudarmanto, “Agama dan Ideologi: Arah dan Prospeknya” Bina Darma Vol.10 No.39 tahun 1992 h. 60
[10] Donald Eugene Smith , Agama dan Modernisasi Politik : Suatu Kajian Analitis (Jakarta: Rajawali Pers, 1985) h.187. Dalam uraian tentang pola-pola politisasi agama ia membegi bahwa agama dapat dianalisis menjadi empat. Yakni berdasarkan identitas kelompoknya, pengaturan kemasyarakatnnya, organisasi keagamaannya dan sistem keyakinannya.
[11] D. Hendropuspito, Sosiologi Agama (Jakarta-Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, 1996) h. 29.
[12] Hans Kung, Global Responsibility : In Search of a New World Ethic (New York : Crossroad, 1991) p 55-64
[13] Stephen K.Sanderson, Sosiologi Makro Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (Jakarta: Rajawali Pers,1995) hlm.518. Atau lebih rincinya bisa dilihat pada Roland Robertson (ed.)., AGAMA: Dalam Analisa dan Interpertasi Sosiologis (Jakarta: Rajawali Pers, 1988).
[14] idem hlm.554
[15] Talcott Parsos et.al., The Theories of Society (New York : the Free Pres, 1965) hlm. 1092
[16] Hendropuspito, Sosiologi ....., hlm. 28-56

15 komentar:

Anonim mengatakan...

kepentingan elite politik di Indonesia. agama seharusnya dijadikan landasan untuk berpolitik tapi bukan dijadikan alasan untuk persaingan politik. ketika agama dijadikan alasan untuk persaingan politik maka akan meimbulkan konflik yang akan merugiakan banyak pihak baik pihak yang bersangkutan maupun yang tidak bersangkutan. seharusnya keragaman agama dijadikan peneguh bangsa kita (sandra theresia wattie 51407107)

Ester mengatakan...

Menurut saya, pluralitas beragama itu benar. karena di Indonesia memiliki 5 agama yang berbeda-beda. Tetapi, harus dibarengi dengan saling mengerti dan menghargai sesama umat beragama.
Menurut saya perebutan pengaruh agama untuk kepentingan politik para elite di Indonesia tidak cocok. karena dengan adanya agama oleh elit politik di indonesia akan terjadi missunderstanding (kesalahpahaman) oleh agama-agama mayoritas terhadap agama minoritas di indonesia. contoh : untuk mementingkan ide-ide mereka, mereka menganggap bahwa agama mereka itu benar. yang artinya, agama yang mayoritas yang benar. dan menurut saya, akan menimbulkan suatu peraturan yang berorientasi undang-undang yang hanya mementingkan agama mayoritas saja.
(Ester P.Kandowangko 51407154, kelas C)

iNigghh...TaSyaa...!!! *_* mengatakan...

Menurut pendapat saya, agama adalah tuntunan kepada manusia untuk mengenalkan kepada Sang Pencipta alam semesta. Manusia bebas memilih agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Di Indonesia sendiri terdapat lima macam agama, di antaranya adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Semua agama mengajarkan tentang kebaikan-kebaikan di dalamnya. Tuhan meminta umatNYA untuk mengakui, percaya, dan menyembah DIA. Namun, terkadang manusia menyalahgunakan kebebasan beragama (pluralitas beragama) tersebut. Terutama orang-orang elite di Indonesia. Mereka berlomba-lomba untuk menarik masyarakat ke dalam kepentingan politik itu sendiri, yakni dengan cara mengajarkan agama mana yang terbaik. Sebenarnya pluralitas (kebebasan) itu diberikan oleh Sang Pencipta bukan untuk dipertentangkan, apalagi hanya untuk kepentingan politik semata. Padahal agama itu sendiri berbeda dengan politik.

(Natasya Sarah Mountina-51407119)

YuuPunyaBlog.blogspot.com mengatakan...

Pluralitas beragama merupakan sebuah realita, dimana di Indonesia, pluralitas tersebut didukung oleh UUD pasal 29 tentang kebebasan beragama. Bagi saya pribadi, pluralitas beragama adalah sebuah hal yang wajar, dalam pengertian, tidak sepatutnya dilarang. Walaupun pada dasarnya, apabila sebuah negara memiliki agama yang singular (tunggal), dimungkinkan akan memperkecil adanya perpecahan dan pertikaian. Namun, kebebasan beragama adalah Hak Asasi Manusia, sehingga ketika pluralitas agama dilarang, hal ini sama saja dengan melanggar Hak Asasi Manusia dan UUD 1945.
Fenomena hubungan antara agama dan politik memang sudah sangat kentara. Sama halnya di Amerika, dimana Barack Obama yang berusaha mendapat dukungan dari Gereja kulit hitam, dan McCain dengan usaha merangkul Gereja Kulit putih. Demikian pula halnya di Indonesia, dimana agama menjadi suatu alat politik sehingga muncul begitu banyak parpol yang berideologi keagamaan.
Walalupun saya setuju terhadap pluralitas beragama, saya sangat tidak setuju dengan penggunaan agama untuk kepentingan politik pribadi. Mengapa? Karena hal tersebut akan membuat masyarakat menjadi subjektif. Sebagai bukti nyata, Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Dengan begitu, secara otomatis, ketika suara seluruh Islam bersatu, maka para elite dengan agama lain akan kalah telak. Padahal, bagi saya, seluruh jajaran elite yang ada di Indonesia seharusnya adalah orang yang memiliki kredibilitas dan kemampuan untuk duduk di pemerintahan. Bukan didasarkan pada suara terbanyak, yang pada dasarnya, hanya diperoleh melalui landasan agama semata.
Dalam benak saya, tidak seharusnya politik dan agama itu berjalan seiringan dan saling bertautan. Seorang Islam pada umumnya tidak akan memilih seorang elite Kristen, begitu pula sebaliknya. Jadi, sebagai contoh, apabila si A mempengaruhi Gereja Kristiani untuk memilihnya, hal ini sama saja dengan menutup peluang memilih bagi para Muslim, karena memang begitulah fenomena yang terjadi di Indonesia. Penganut Kristiani pun mungkin saja memilih si A karena dianggap mendukung agamanya, padahal mungkin elite politik dari golongan Islam memiliki kemampuan yang lebih baik. Kenyataan seperti inilah yang membuat kita menjadi tidak subjektif, dan membuat mereka yang duduk di pemerintahan seringkali adalah orang yang tak sepatutnya mengemban tugas tersebut. Selain itu juga akan semakin memperbesar jurang pemisah antara agama-agama, memperkecil toleransi, meningkatkan persaingan agama, memunculkan sifat fanatik, dan menyulut pertikaian antar agama.
Seorang elite politik yang mempengaruhi penganut agama tertentu untuk kepentingannya, bagi saya, adalah orang yang picik dan pragmatis. Apakah tipe pemimpin seperti itu yang saya harapkan? Sama sekali tidak. Seorang pemimpin yang bijaksana, adalah mereka yang membekali diri dengan segala kemampuan, hingga akhirnya seluruh masyarakat Indonesia memilihnya, bukan karena kampanyenya, bukan pula karena program partai yang mengatasnamakan agama, tapi memilihnya atas seluruh kemampuan dan wawasan yang ia miliki. Dengan begitu, pada akhirnya, kemenangan tersebut tidak akan menjadi pelecut pertikaian politik atas nama agama.
(yuventa 51407129)

ney mengatakan...

menurut saya, pluralitas beragama adalah sebuah sikap dimana kita harus bisa saling menghargai agama lain, tnpa memandang agama kitalah yang paling benar. sedangkan untuk perebutan pengaruh agama untuk kepentingan politik para elite di Indonesia menurut saya sangatlah tidak baik. Akhir- akhir ini memang banyak para politikus yang menggunakan agama untuk memperoleh pengaruh yang besar di dunia politik, dan itu sangatlah tidak dibenarkan di agama. Semua agama pasti memberikan ajaran-ajaran yang baik bagi umatnya. Sebagai umat agama yang baik, seharusnya kita tidak menyangkutkan agama kedalam masalah lain terutama masalah politik. lebih baik para elite di Indonesia menggunakan kemampuannya untuk kepentingan politiknya.

(vonny ayu - 51407101)

midzpunyablog mengatakan...

Di Indonesia memiliki 5agama. Dan masyarakat Indonesia bebas untuk memilih di antara 5agama itu. kebebasan bearagama adalah hak asasi setia manusia. Hubungan antara agama dan politik memang sudah sangat kelihatan akhir2 ini. Di Indonesia syadah mulai banyak bermunculan parpol yang berlatar belakang agama. Seperti Partai Damai Sejahtera, partai Islam, dll. Saya tidak setuju kalau agama dijadikan disangkut pautkan dengan kepentingan politik. Karena agama berhubungan dengan Tuhan. Agama mengajarkan tentang kebaikan, bukan untuk dikaitkan dengan politik. Partai Gerindra menyatukan 5agama. contohnya : apabila ada partai kristiani, kampanye di Gereja2, maka akan banyak orang kristiani yang memilih. untuk umat lain tidak ada lesempatan donk. Janganlah agama-agama dikaitkan dengan elite politik. Seharusnya agama dijadikan sebagai penopang dan penguat dalam para pemimipin partai maupun angggota partai itu sendiri. Agama kan tidak sama dengan Politik. Tapi, masih aja masyarakat yang menyalahgunakan makna agama untuk kepentingan elite politik.
(Laura Mido J.S. - 51407095)

Funniest Zone mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Funniest Zone mengatakan...

Seperti yang kita tahu bahwa di Indonesia ini mengenal berbagai macam agama yang berbeda-beda tentunya. Itulah yang dinamakan pluralitas agama, yaitu keanekaragaman atau keberagaman agama. Penduduk Indonesia sendiri termasuk masyarakat yang berbudaya agama. Dunia politik di Indonesia sangat kental dengan hal keagamaan. Bahkan agama seolah menjadi ‘boneka’ bagi permainan politik di Indonesia. Menurut saya, adanya perebutan pengaruh agama dalam politik adalah untuk menarik simpatik masyarakat terhadap suatu partai agama tertentu. Untuk menarik minat masyarakat, maka partai tersebut menggunakan kedok keagamaan. Contohnya, PKB yang notabene partai aliran Islam NU. Partai tersebut bertujuan untuk menarik masa beragama Islam di luar aliran NU. Contoh lainnya, P3 yang merupakan partai Islam. Mereka ingin memiliki masa dari aliran NU.
Jadi, banyak partai di Indonesia menggunakan embel-embel agama sebagai dasar dan pegangan partai tersebut. Hal tersebut bisa terjadi karena mengingat penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang mayoritas beragama. Mereka sangat memegang teguh budaya dari agama masing-masing. Jadi tidak menutup kemungkinan bahwa agama kemudian menjadi dasar pijakan para elite untuk kepentingan politik di Indonesia. Para elite yang saya maksudkan di sini adalah partai politik di Indonesia. Oleh karena masyarakat kita kental akan agama masing-masing, terutama Islam (mayoritas penduduk beragama Islam), maka banyak partai yang menggunakan kedok partai Islam untuk meraup masa-masa tertentu. hal tersebut bertujuan untuk mencapai kepentingan politik para elite di Indonesia.
Menurut saya, untuk menyikapi hal tersebut ada 2 pandangan. Di sisi politik, menurut saya hal tersebut sah-sah saja. Memang dalam dunia politik, segala cara harus ditempuh demi mencapai kepentingan yang ingin diraih atau untuk mencapai keuntungan Tapi di sisi lain hal tersebut sangat tidak tepat. Seharusnya agama jangan dijadikan mainan untuk kepentingan politik. Boleh-boleh saja menggunakan dasar agama tertentu, tetapi jangan kemudian dijadikan permaianan politik. Kita tahu bahwa banyak sekali partai yang kita miliki. Memang partai-partai di Indonesia mayoritas menggunakan agama sebagai dasar dan pegangannya. Hal tersebut bertolak belakang dari Amerika yang hanya memiliki 2 partai yang sama sekali tidak bernafaskan keagamaan. Di sana, agama dan politik tidak bersentuhan. Lain dengan Indonesia yang menggunakan dasar agama. Lama-kelamaan agama dijadikan ’mainan’ politik seperti yang sering kita jumpai. Banyak pula masyarakat kita berselisih oleh karena perbedaan aliran agama dalam permaianan politik di Indonesia. Itulah salah satu peyebab mengapa bangsa kita menjadi pecah dan berselisih paham antar agama. Jadi, sebaiknya agama jangan menjadi tumbal dalam dunia politik.

oleh : Dessy Stephanny (51407153)

sh na mengatakan...

Pendapat saya tentang pluralitas beragama di masyarakat merupakan suatu hal yang wajar. Setiap orang mempunyai perbedaan dalam suatu keyakinan yang dia percayai. Agama merupakan hak pilih pribadi dan tidak seharusnya ditentukan oleh orang lain kecuali mereka sendiri. Agama sebagai upaya untuk mengintegrasikan realitas hidup. Agama juga sebagai petunjuk hidup agar mereka mengerti akan tujuan hidup ini dan tidak melakukan hal yang sia-sia dalam kehidupan mereka.
perebutan pengaruh agama untuk kepentingan politik para elite di Indonesia tidak wajar. Politik para elite berupaya mempengaruhi masyarakat dengan pengaruh agama untuk kepentingan politik karena politikus ini mencoba untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat demi kepentingan politik mereka karena agama memiliki kemampuan memerintahkan loyalitas komunal dan lejitimasi kewenangan.

(shena damayanti 51407145)

priscilla mengatakan...

Menurut saya pluralitas beragama boleh2 saja karna di Indonesia sendiri telah ada 5 agama, tergantung mana yang kita yakini dan percaya. Dengan adanya kebebasan memilih agama masing masing, bkan berarti masyarakat dapat menyalah gunakannya. kita sebagai masyarakat jga harus dapat menghormati agama lain.

Sedangkan mengenai perebutan pengaruh agama untuk kepentingan politik para elite di Indonesia itu menurut saya sangat salah karena tidak seharusnya para elite indonesia mencampurkan urusan keyakinan dengan politik. karena agama dan politik itu sendiri berbeda, agama merupakan urusan pribadi masing2 yang tidak seharusnya dicampur adukkan dengan masalah politik.

priscilla mengatakan...

maaf pak,

saya lupa memberi nama dan NRP pada jawaban kemarin,

priscilla dewi rohy (51407141)

trima ksih..

zerr mengatakan...

Menurut saya, agama diciptakan untuk membawa kedamaian
di dunia ini, dan mengajarkan nilai-nilai baik yang
dapat membentuk sosok seseorang menjadi baik pula..

Tapi pada kenyataannya di Indonesia sendiri, agama dan kekerasan hampir menjadi dua kata yang tidak dapat dipisahkan. Banyak kekerasan di tengah-tengah masyarakat dengan mengatasnamakan agama, hal tersebut sangatlah ironis dan sangat bertolak belakang dari ajaran setiap agama yang ada..

Pluralitas beragama di suatu negara bisa berdampak positif maupun negatif bagi negara, positif jika antar umat beragama bisa saling menghargai, maka keharmonisannya bisa membuat nilai lebih dari suatu Negara, namun akan menjadi negatif jika antar umat beragama tidak bisa saling menghargai, akan sering terjadi konflik antar umat beragama karena masing-masing selalu menganggap bahwa agama-nyalah yang paling benar.

Sampai sekarang, tantangan dalam bermasyarakat adalah konflik antar umat, di mana agama selalu dijadikan elemen utama untuk menghancurkan umat yang lain.

Kebebasan beragama di Indonesia kini menjadi masalah yang semakin rumit karena cenderung berkaitan dengan persoalan politik.

Bagi elite politik, pertarungan untuk memperoleh posisi penting selalu dilakukan dengan cara mengambil hati dalam setiap komunitas SARA (salah satunya agama), seakan-akan ia memperjuangkan nasib
komunitas ini. Hal ini tidak tepat karena para elite politik yang menggunakan dasar agama akan selalu membela agamanya sendiri, tanpa membenarkan agama lain, padahal Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari bermacam-macam agama.

Laura Angelia
51407013

Unknown mengatakan...

Menurut saya pluralitas beragama merupakan suatu kenyataan yang ada dan bisa kita lihat di Indonesia. Pluralitas beragama bukan merupakan suatu hal yang dipandang sebagai suatu potensi konflik. Tetapi Pluralitas beragama ini harus dipandang sebagai suatu potensi kekayaan sehingga perasaan superior yang ada pada setiap diri umat beragama bisa dihilangkan. Sehingga bisa tercipta rasa nasionalisme di tengah pluralitas beragama.
Sedangkan perebutan pengaruh agama untuk kepentingan elit politik merupakan keegoisan elit politik yang dapat menjadi penyebab timbulnya konflik. Karena kelakuan elit politik ini bisa menimbulkan perasaan superior pada agama tertentu, membuat agama lain semakin tersisihkan. dan pada akhirnya konflik antar umat beragama pun terjadi. Untuk itu tidak seharusnya elit politik memanfaatkan agama untuk kepentingan politiknya karena bisa memecah persatuan bangsa kita. Seharusnya para elit politik menjadi pemersatu bangsa bukan sebaliknya. Negara kita bisa kuat jika warga negaranya sama2 menyadari, menghargai dan menghormati perbedaan yang ada diantara kita...

(Lisa Ongko/ 51407019)

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
DaiSy mengatakan...

Saya setuju dengan adanya pluralisme beragama di mana saya juga mendiami negara dengan pluralisme agama. Menurut saya pluralisme merupakan sebuah paham atau keyakinan di mana seseorang dengan sadar dan ikhlas harus menerima keragaman agama, budaya, dan entitas sosial lainnya. Dalam konteks agama, pluralisme dapat dijadikan sebagai upaya untuk saling menghargai dan menghormati antar pemeluk agama yang berbeda dan beragam.
Namun saya tidak setuju dengan perebutan pengaruh agama untuk kepentingan politik para elite di Indonesia. Kita tidak boleh mengartikan pluralisme agama sebagai upaya melakukan peleburan keimanan antara satu agama dengan agama lainnya, krn akan melahirkan kerancuan dan konflik antar umat beragama.
Di dunia ini kita tidak bisa menutup diri di dalam kehidupan bersosialisasi apalagi di negara Indonesia ini yang beraneka ragam agama dan kebudayaan.
Dalam konteks hubungan sosial, pluralitas beragama tetap dibutuhkan dalam rangka membangun tatanan sosial yg harmonis, damai, dan toleran.
Selain itu, agama bukanlah untuk perebutan pengaruh, politik, kekuasaan, dan sumber daya ekonomi melainkan agama adalah pemberdayaan personal, penguatan agar seseorang senantiasa mampu melampaui kepentingan-kepentingan pribadinya dan menyatu bersama kebenaran sejati yang menyatu bersama kebaikan semesta. Agama adalah menegakkan kejujuran dan keadilan yang dimulai dari setiap pribadi yang memeluk agama tersebut.


Desy Ariskawati
51407085