Senin, 01 Desember 2008

PARTAI POLITIK

PARTAI POLITIK DAN REALITAS POLITIK

Oleh Gatut Priyowidodo
DosenJurusan Ilmu Komunikasi UK Petra Surabaya

PRESKRIPSI awal UU 2/2008 (diberlakuakn sejak 4 Januari 2008) dan sebagai pengganti UU No 31 tahun 2002 tentang keparpolan adalah restrukukturisasi kehidupan kepartaian yang aspiratif. Tidak menjadi soal apakah jumlah partai itu nantinya akan banyak atau relatif sedikit. Maurice Duverger sendiri meyakini bahwa seleksi alam dalam sebuah sistem politik tertentu akan menciptakan paling banyak tiga model kepartaian yakni sistem partai tunggal, sistem bipartai dan sistem multi partai. Pertanyaannya kemudian apakah dengan jumlah 164 partai yang terdaftar di Kementerian Kehakiman dan HAM pada awal reformasi (199) dan menjelang pemilu 2009 sudah menyusut (tapi juga masih banyak) hampir 100 juga sudah mengindikasikan Indonesia menganut sistem multipartai? Secara kuantitas, jelas sudah. Namun apakah kehadirannya sudah cukup menyumbang terhadap progresivitas demokratisasi yang sedang berdayung saat ini adalah problem krusialnya.

Disain Kepartaian
Tentu mempertimbangkan kemajuan demokratisasi yang sudah dicapai melalui kehadiran banyak partai adalah satu soal. Soal lain adalah bagaimana disain kepartaian yang amat liberalistik ini juga mampu mendukung terciptanya kestabilan politik sehingga pemerintahan bisa berjalan secara efektif? Praktek sistem politik di banyak negara yang dapat disaksikan adalah bergerak dari kutub demokratis tetapi tidak stabil (Thailand, Filipina, India) dan stabil tetapi tidak demokratis (Malaysia, Singapura). Spirit reformasi jelas tidak mengidealkan kondisi politik macam demikian. Bayangan temaram yang hendak digapai adalah konstruksi politik yang demokratis tapi juga stabil.
Gullermo O’Donnell (1986) dalam studinya di Eropa Selatan dan Amerika Latin justru menemukan pergerakan dua kutub yang dikhotomis itulah yang dominan dan bukannya alternatif ketiga. Realitas empiris demikian juga menunjukan betapa perjalanan transisi menuju demokrasi adalah problematika yang tidak simplifistis. Bahkan jika tidak hati-hati, bukannya mustahil menciptakan sebuah rejim neo othoritarian yang justru membawa kondisi yang set back. Tidak sedikit negara yang gagal melewati masa-masa sulit demikian. Itu sebabnya menejemen pemerintahan Indonesia saat ini bertumpu pada dua pijakan yang harus secara cermat dimainkan. Salah pijak sama artinya penjerumusan atau proyek bunuh diri.
Disain sistem politik yang stabil sekaligus demokratis tentu sebuah idealisasi di hampir setiap negara di dunia. Atau dengan kata lain, setiap negara berhak mencapai kondisi seperti itu dengan pertaruhan diskrepansi rentang waktu yang dibutuhkan tentu tidak sama. Parameter yang sangat nampak terlihat apakah sebuah negara pada kategori demokratik atau tidak demokratik terletak apakah kehidupan kepartaian di sana normal ataukah pada situasi tekanan. Dua situasi demikian merefleksikan kondisi senyatanya sebuah ralitas politik.
Indonesia adalah negara yang pernah mengalami dua situasi politik yang berbeda semacam itu. Periode 1950-an, sejarah mencatat kehidupan kepartaian yang liberal sekaligus demokratik. Sebaliknya sejak tahun 1973 dengan kebijakan fusi partai, nyaris kehidupan kepartaian tidak ada. Pemilu ke pemilu dengan klaim 90 % tingkat partisipasi rakyat adalah sebuah kebohongan besar yang amat pahit jika hendak dikenang. Terlanjur muncul trauma kolektif masyarakat bahwa partai jelek dan pembangunan baik.

Kanalisasi Politik
Pada saat yang bersamaan trauma kolektif tersebut memendam daya resistensi yang sewaktu-waktu bisa meletup. Pada konteks seperti inilah bisa dipahami bahwa eforia kepartaian adalah kanalisasi politik rakyat yang tidak perlu lagi diintervensi oleh kekuatan negara. Negara dengan segala perangkatnya harus berasumsi bahwa rakyat tidak bodoh. Pembangunan pendidikan selama kurun tiga dasa warsanan telah pula mampu mereproduksi manusia-manusia yang cerdas sekaligus berkesadaran tinggi akan politik rakyat.
Berangkat dari pemahaman tersebut, adalah sebuah kenaifan besar jika menilai Indonesia era reformasi telah kebablasan dalam kepemilikan partai. Penilaian demikian secara implisit juga mempersilakan negara melakukan intervensi dengan instrumen-instrumen pembatasan legal-formal. Jika ini dibenarkan, mudah diperkirakan lahirnya resiko-resiko politik yang memberi bobot terhadap penyumbatan-penyumbatan kemerdekaan rakyat melakukan kegiatan berserikat dan ekspresi politik sipilnya. Pada tataran demikian berlakulah contradictio in terminis. Demokrasi mengalami pemasungan oleh sebab kuatnya kontrol negara akan mendorong lemahnya partisipasi politik warga sipil.
Klaim negara demokrasi tidak bermakna simbolik apapun ketika kegiatan berpartai justru terpatahkan oleh regulasi-regulasi yang bernuansa represif. Maka dengan alasan apapun bentuk pembatasan berpartai adalah refleksi kegagalan negara melakukan instropeksi atas kesalahan yang sama di masa lalu. Pemikiran bahwa liberalisme mendirikan partai bakal meretas jalan menuju disintegrasi sama halnya memasang katup pengaman sementara. Dekanalisasi berpartai tidak mustahil menciptakan volkano politik di masa depan dengan resiko biaya yang mahal.

Realitas Politik
Harus diakui bahwa membangun kehidupan kepartaian yang sehat adalah megaproyek yang tidak mudah. Itu juga berarti selalu saja akan muncul kemungkinan gerakan-gerakan anti pembangunan politik dengan segala variannya. Dari yang amat halus mainnya hingga yang secara explisit membuka front oposan dengan pemerintah. Partai yang pada dasarnya merupakan instrumen artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat kerapkali terdistorsi oleh permainan-permainan jangka pendek para aktivisnya. Itu sebabnya tidak mengherankan banyak partai di era reformasi ini dilanda berbagai konflik internal partai.
Pada mulanya konflik internal partai bisa saja dimaknai sebatas perbedaan wacana. Namun faktanya, tidak hanya berhenti sampai di situ. Malah menggelinding ibarat bola salju yang terus membesar menjadi letupan-letupan yang justru menciptakan fragmentasi kehidupan kepartaian yang tidak sehat. Pertanyaaanya, progresifitas demokrasi macam apa yang bisa dihasilkan dalam suasana sosio-kultur demikian?
Giovani Sartori dalam Party and Party System (1976:3-38) secara jelas memberi diskripsi bahwa partai politik adalah paduan kepentingan yang sejak awal tidak mudah dibangun. Secara etimologis kata partai sendiri baru ada abad 18, sebelumnya yang populer adalah kata faksi. Kendatipun dua kata tersebut memiliki pengertian yang tidak sama dimana faksi yang berasal dari kata facere (Latin) atau faction (Ing.) yang berarti melakukan (to do, to act) dan partai yang berasal dari kata partire yang berarti to divide (memisahkan) dan part (Ing.) berarti bagian dari, ternyata dalam perkembangannya terjadi saling pinjam tempat dan bahkan dimaknai pula yang satu bagian dari yang lain dan yang lain bagian dari yang satunya.
Latarbelakang historis tersebut secara jelas memberi legitimasi teoritik betapa dalam sebuah partai politik modern kehadiran faksi-faksi menjadi sebuah keniscayaan. Dan jika tidak diakomodir bisa menjadi musuh dalam selimut atau malah menghancurkan, namun sebaliknya jika diakomodir selain memajukan partai bisa pula membuat tuntutan-tuntutan baru. Dalam konteks seperti itulah bisa dipahami, betapa tidak mudahnya mengakomodir banyak kepentingan yang bermain dalam tubuh setiap partai politik.
Tidak pada jaman eforia politik saat ini perpecahan partai itu terjadi. Sejak jaman demokrasi liberalpun benih saling berpecah itu sudah ada. Begitupun pada jaman Orde Lama dan Orde Baru, spirit berpecah memang tidak berasal dari intern partai namun kuatnya intervensi negara yang berkepentingan agar partai memang tidak mandiri, justru menggiring partai dengan mudahnya dijadikan kelinci permainan penguasa. Kendatipun berbeda dalam performans, fragmentasi kepartaian seperti PKB Matori vs PKB Alwi Shihab, PPP Hamzah Haz vs PPP Reformasi (?), PK Yusril vs PK Hartono Mardjono, Golkar vs Gerinda, PAN vs PMB, PDI Perjuangan vs PDP dan yang lainnya secara subtansi tetap menunjukan gelagat yang sama yakni belum adanya kestabilan emosional partai. Tentu menuju kedewasaan dan kemadirian partai bukanlah pekerjaan satu-dua hari. Namun mengingat empirisme para pelaku-pelaku politik yang sebagian besar bukanlah pendatang baru, jelas tidak bisa dihindarinya dominasi faktor ego sangat disayangkan.
Kuat tidaknya partai menghadapi terpaan badai, pada intinya juga akan berpulang sejauhmana pelaku partai itu sendiri mampu mengedepankan kepentingan yang lebih luas (partai atau negara) dibanding kepentingan perorangan. Sepanjang terminologi partai diinterpertasi sebagai wahana untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, maka semestinya tujuan mulia itulah yang harus dikedepankan. Bahwa belakangan selalu diapungkan semangat myself is the best, jelas itu akan menanamkan benih perpecahan yang sulit di matikan.

Kalam Penutup
Benar, orientasi utama berdirinya partai adalah how to gets power. Tetapi bagaimana mungkin sebuah kekuasan politik bisa diperoleh jika instrumennya tidak solid dan terbelah ? Ibarat bagaimana mungkin nelayan dengan sampan kecil mampu bersaing dengan kapal tongkang atau pukat harimu menangkap ikan tuna ? Jelas dua-duanya bisa menangkap tuna, tapi seberapa banyak tuna (suara/kursi) bisa dikumpulkan adalah soal lain. Menghitung kekuasaan tidak lain juga menghitung seberapa banyak tangkapan kursi bisa dikoleksi. Besar-kecil atau sedikit-banyak kursi adalah kalkulasi kasat mata mungkin-tidaknya kekuasaan politik tersebut direngkuh. Lengsernya Gus Dur dari kursi kekuasaan adalah kenaifan menghitung kekuasaan dengan sentimen emosionalitas sesaat tanpa dimbangi daya dulkung landasan yang kokoh. Politik bukanlah black-white area only tapi ada juga di sana membujur zona abu-abu (grey zone) yang tidak mudah ditebak kepentingan politik apa yang sedang dimainkan pada setiap tindakan politiknya. Maka berhati-hatilah dalam merespon setiap aksi politik. Janganlah over reaktif sekaligus over possesif.


ooooo ilkom-gpw ooooo


Instruksi alias Pemberitahuan

Silahkan diberikan OPINI Kelas A (Kuliah hari Senin) :
Karena alasan SE atau mungkin tidak masuk beberap mhs belum meperoleh poin dari diskusi kelompok al:
Olivia,melisssa, isabella mona, isabella o,laura,desi, markus,isaura,neysa,wijayanti dan anggota kelompok lain yang belum maju tetapi ingin memberi tanggapan silahkan (NIM jangan lupa)

Menurut saudara, negara dengan multi partai baik atau buruk? Terlebih jika dikaitkan banyak negara dengan sistem multipartai relatif sering labil (goyah) seperti yang saudara lihat kasus di Thailand sekarang ini (30/11) bandara di jadikan sarana untuk mendesak pemerintahan Samchai turun.

21 komentar:

It's Me... ^ - ^ mengatakan...

Menurut pendapat saya mengenai baik atau buruknya suatu negara memiliki banyak partai (multi partai)itu relatif tergantung dari ketua dan partai itu sendiri. Jika partai tersebut dapat benar-benar bersaing secara dewasa dan sehat maka tidak akan terjadi hal-hal yang membahayakan seperti yang ada di Thailand tersebut yang sampai memakan beberapa korban tewas. Di Thailand tersebut terjadi pemboikotan 2 bandara thailand oleh massa PAD akibat adanya ketidak jujuran dari PM Somchai Wongsawat pada saat pemilu 2007 serta karena adanya hubungan saudara antara PM Somchai dengan Thaksin Shinawatra sehingga untuk mencegah hal terburuk (penyalagunaan kekuasaan) terjadi maka Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk melarang PM Somchai untuk tidak berpolitik selama 5 tahun sehingga ia pun memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai Perdana Mentri.

Menurut saya sendiri untuk negara yang labil seperti Thailand lebih baik tidak menggunakan sistem multipartai, dikarenakan masih tidak mampunya masyarakat negara tersebut untuk diajak benar-benar murni demokrasi karena masih ada banyak diantara mereka yang lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan negara/masyarakat.



Isaura
51407087
Pengantar Ilmu Politik (A)

aDi mengatakan...

Menanggapi lebih lanjut mengenai negara thailand, Beda Thailand dengan Indonesia

Saat ini sedang terjadi demonstrasi besar-besaran anti pemerintah di Bangkok. Pendemo sudah menduduki bandara udara internasional di Bangkok. Sehingga para ekspatriat dan turis tidak bisa meninggalkan Bangkok. Menilik apa yang terjadi di Jakarta pada tahun 1998 dan Bangkok 2008,

- Di Bangkok disediakan serta akomodasi serta makan gratis bagi orang asing yang tidak bisa meninggalkan Bangkok. Akodomodasi di Bangkok merupakan hotel berbintang dan mewah. Di Jakarta, tidak pernah terjadi.

- Warga negara asing seperti dari Singapura, telah dijemput oleh Singapore Airline serta satuan unit angkatan bersenjata untuk mengawal keselamatan warganya dari penginapan ke bandara dan sampai ke negaranya. Juga Malaysia dengan Malaysian Airlines dan beberapa negara lain. Indonesia baru akan mengusahakan pengangkutan warga negaranya dengan Garuda (berita terakhir 2 Desember 2008 http://www.kbri-bangkok.com/about_embassy/announcements_10.html).

Sebagai warga negara, banyaklah kewajiban kita. Bagi negara, apalah artinya warga negaranya?

aDi (51407165)
www.adiadi.co.cc

♫ m2m ♫ mengatakan...

Negara multi partai itu baik atau tidak ???
Menurut saya, untuk menjawab pertanyaan tersebut semua itu dikembalikan pada pribadi masing-masing orang yang menjadi calon pengurus negara tersebut. Karena meskipun negara menganut multi partai tetapi pribadi calon pemimpinnya tidak ada yang bertanggung jawab, maka negara pun menjadi kacau seperti maraknya korupsi atau hal-hal negatif lainnya.
Sedangkan negara hanya satu partai akan baik bila calon pemimpinnya mempunyai pribadi yang baik pula dan bertanggung jawab.
Tetapi, baik satu partai ataupun multipartai keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kalau satu partai orang tidak bebas memilih dan cenderung terpaksa untuk mendukung calon pemimpin mereka tersebut, karena tidak ada calon lain. Sedangkan negara multi partai sebenarnya sangat menguntungkan karena warga jadi bebas memilih sesuai dengan calon yang dianggap dapat menjadi pemimpin yang baik, tetapi jika semua partai tidak mau menerima kekalahan maka negara pun dalam keadaan terancam kekacauan.
Jika dihubungkan dengan apa yang sedang terjadi di Thailand, lebih baik negara harus dapat mengubah pikiran atau cara pandang warga yang ada di dalam negara tersebut agar mereka lebih menghargai kepentingan bersama (negara) daripada kepentingannya secara individu. Setelah cara pandang mereka ini dirubah maka multipartai ataupun satu partai tidak akan jadi masalah.
-meLLisa kumaLasaRi(51407078)-

LiLo mengatakan...

menurut saya, baik atau buruknya suatu negara menganut sistem multipartai tergantung bagaimana kinerja partai tersebut. jika melihat sistem yg ada sekarang ini, sikap anti partai sebagaimana yg ada selama ini seharusnya tdk perlu ada. upaya rakyat utk membentuk atau bergabung dg partai politik harus dilihat sebagai bentuk partisipasi politik. secara konstitusional pemerintah tdk punya alasan utk melarang berdirinya/membubarkan suatu partai, sebab hal itu adl bagian dr hak asasi manusia, terutama hak utk berorganisasi. toh, akhirnya rakyatlah yg akan menentukan partai mana yg dianggap sesuai dg kepentingannya.selain itu, di Indonesia setiap partai politik pasti mencantumkan pancasila sbg asas satu-satunya. pancasila inilah yg berfungsi sebagai alat pemeratu di antara bermacam-macam partai.

listiani lo
51407020

zerr mengatakan...

Setelah membaca beberapa artikel mengenai sistem multipartai dan kasus di Thailand :

Menurut saya, negara yang menganut sistem multipartai pada dasarnya baik, asal tidak kebanyakan. Karena makin banyaknya partai, makin banyak pula golongan yang mementingkan kepentingan kelompoknya sendiri-sendiri, apalagi jika partai-partai itu muncul dengan latar belakang kalah saing di partai lama, itu yang bahaya..

Lagipula, dengan banyaknya partai dalam suatu negara, masyarakat akan bingung dalam memilih partai mana yang benar-benar baik untuk negara, karena kita semua tahu dibalik munculnya partai-partai baru dalam negara, pasti ada beberapa yang mempunyai maksud terselubung.

Ditambah lagi dengan adanya peningkatan harga dimana-mana membuat masyarakat lebih condong untuk memikirkan masa depan kehidupan mereka daripada harus memilih satu dari sekian banyak parpol yang kurang jelas program pembangunannya. Hal ini bisa menambah jumlah golput dalam pemilu mendatang.

Jika dikaitkan dengan kasus di Thailand, saya rasa apa yang dilakukan oleh PAD untuk menurunkan PM Somchai Wongsawat benar-benar suatu kebodohan. Memang akhirnya PM Somchai Wongsawat turun dan kecurangannya terbukti, namun bagaimana dengan efek negatif yang lain?
- 1 orang tewas, 20 orang luka
- 350 ribu turis tertahan
- Puluhan juta dolar kerugian negara telah mencoreng citra Thailand di mata internasional

Setelah PM Somchai Wongsawat turun pun transisi menuju pemerintahan yang baru masih belum memiliki kepastian dan prospek ke depan, belum lagi Bandara Thailand yang menuntut pihak PAD atas apa yang telah mereka lakukan.

Sangat memalukan bukan?

Disamping itu, tidak hanya Thailand saja yang goyah akibat sistem multipartai, Indonesia pun mencatat sejarah tentang sistem multipartai yang dianut sejak 1955 menghasilkan pemerintahan yang jatuh bangun. Sampai-sampai Presiden Soekarno yang tidak tahan dengan ketidakstabilan tersebut mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 sehingga tidak ada lagi pemilu di Indonesia sampai dengan 1971.

Sampai sekarang pun Indonesia masih jatuh bangun namun tetap saja menggunakan sistem multipartai, bahkan pada pemilu mendatang akan ada 34 partai politik calon pemimpin Indonesia.

Yang perlu bagi kita sekarang adalah seorang kepala Negara yang betul–betul bijak dan tak terikat budi dengan pihak manapun. Dia harus betul-betul mau berkorban bagi rakyat tanpa ada rasa takut untuk tidak terpilih lagi pada pemilihan selanjutnya.

Lebih baik sedikit partai namun aspirasi dari rakyat benar-benar bisa tersampaikan, dan rakyat pun bisa mendapat penghidupan dari Negara, daripada banyak partai namun rakyat tetap saja sengsara.

Laura Angelia
51407013

M.Y.Melysa mengatakan...

Menurut pendapat saya, negara dengan multipartai lebih baik daripada negara dengan partai tunggal atau bipartai. Alasannya: multipartai akan melahirkan keadaan dimana setiap orang akan akan memiliki hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena tidak semua individu memiliki pandangan politik/visi dan misi yang sama. Dengan adanya multipartai, juga akan mendorong kreativitas dan inovasi setiap individu untuk ikut berperan serta dalam pembangunan bangsa dan negaranya, serta menciptakan suasana berbangsa dan bernegara yang dapat melindungi hak-hak setiap warga negara. Sistem negara yang monopartai atau bipartai berpotensi besar menimbulkan praktek-praktek monopoli di segala bidang kehidupan karena adanya dominasi dari penguasa.

Jika selama ini Negara dengan multipartai sering labil, itu karena tidak adanya “norma”, kelembagaan yang kurang mapan, serta tidak adanya tata laksana multipartai yang dilandasi sebagai landasan bersama. Jadi, perbaikan dalam hal “norma”, kelembagaan, dan adanya kesepakatan bersama dalam tata laksana dapat membuat sistem multipartai menjadi lebih stabil.

Maria Yohanna Melysa
51407001

barbel_collections mengatakan...

Ketika ditanya Negara multi partai itu baik atau tidak ?
Menurut saya, tergantung kesiapan masing-masing negara dan bentuk partai yang bagaimana yang baik untuk bangsa tersebut.
Menurut saya negara multi partai memiliki kelebihan dan kekurangan.
KELEBIHANNYA :
- Negara multi partai itu sangat baik, karena masyarakat dapat memilih mana calon pemimpin yang terbaik bagi bangsa mereka.
- Sebuah bangsa itu pasti terdiri dari berbagai suku, ras dan agama. Jika bangsa tersebut menganut multi partai maka mereka dapat memilih calon yang terbaik menurut mereka
KEKURANGANNYA :
- Negara yang menganut multi partai, yang memiliki partai terlalu banyak sampai 100 lebih partai, menurut saya sangat tidak efektif, jika multi partai lebih baik dibatasi hanya 10-15 partai saja. Hal ini agar masyarakat tidak bingung dan asal memilih. Karena akan menimbulkan dampak di akhir.Karena akan banyak masyarakat yang akhirnya golput.
Mengenai kasus di Thailand tentang terjadinya pemboikotan 2 bandara thailand oleh massa PAD akibat adanya ketidak jujuran dari PM Somchai Wongsawat pada saat pemilu 2007. Menurut saya masyarakat thailand masih belum terbiasa dengan politik seperti itu, dengan sistem demokrasi dan multi partai. Mereka belum siap dan terbiasa dengan hal tersebut. sehingga begitu hal tersebut dipaksa diterapkan pasti akan terjadi konflik. Salah satu konfliknya bisa seperti pemboikotan tersebut..
terima kasih...

Isabella Octavia Irtanto
kelas Pengantar Ilmu Politik / A
51407091

markus marvelous mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
markus marvelous mengatakan...

negara dengan multi partai baik atau buruk? menurut saya negara dengan multi partai bisa berakibat baik tetapi juga bisa berakibat tidak baik. itu semua tergantung dari apa sebenarnya niat dari orang untuk mendirikan partai.

jika kita tilik ke beberapa waktu lalu dimana indonesia masih dibawah rezim dari Soeharto, disana hanya terdapat 3 partai saja yang ikut dalam pemilihan umum yaitu PPP, PDI, dan Golkar. memang dengan adanya 3 partai saja, suasana politik terlihat lebih damai, tertib dan tentram. tetapi kebebasan untuk berpolitik tidak bisa sebebas sekarang.

untuk masa sekarang kita melihat banyak sekali partai yang ada. itu merupakan salah satu bentuk adanya demokrasi. dimana semua pertai yang ada membawa masing-masing ideologinya yang dianggap bisa membawa indonesia keluar dari keterpurukan. tetapi dengan banyaknya partai tersebut, kita lihat suasana politik tersana memanas, terjadi perebutan image yang baik untuk partainya...

jadi menurut saya sebenarnya untuk membuat negara menjadi berkembang dan maju, kita hnya memerlukan suatu hal yaitu sebuah kebebasan. dimana kebebasan itu akan menghasilkan kreativitas2 yang baru yang akan membawa sebuah inovasi. tetapi kebebasan itu tentunya haruslah kebebasan yang disertai tanggung jawab.


Markus Marvelous
51407161

^YuRi-A_PoEnYa^ mengatakan...

Wah pak gatut, blog bapak temanya sama dengan tugas yang bapak berikan yaitu tentang sistem multipartai....Aku terbantu lho dengan tulisan bapak yang membahas ttg multipartai..
Kalau menurutku, ttg multipartai dan sebuah negara mempunyai banyak partai sebenarnya sah-sah aja, klo negara punya bnyk partai. Contohnya Indonesia sbg negara berkembang, mengalami perkembangan dalam bid politik jadi mpyai banyak partai...
Kalau di tanya baik atau tidak negara Multipartai????
Tidak baik......sebenarnya ,alangkah indahnya jika calon partai benar-benar diseleksi agar partai-partai yang maju adalah partai-partai pilihan yang sdh bnr2 disaring oleh pemerintah.sehingga tidak banyak partai yang ada, sehingga menyebabkan pemilih tidak bingung untuk memilih...
Tetapi semua tergantung dari pribadi lepas pribadi, bagaimana pribadi tersebut berintegritas dan melakukan bukan cuma janji semata.

Yurica Asmoyong
51407068
PIP A

ney mengatakan...

MENANGGAPI negara dengan multi partai itu baik atau buruk?

BAGI saya merupakan suatu hal yang baik apalagi di negara berkembang, karena dengan sistem multi partai masyarakat dapat mengapresiasikan pendapat mereka masing-masing sehingga akan mengurangi jumlah golput. TAPI diharapkan partai2 yang ada benar2 mewakili suara rakyat banyak, mampu menyelesaikan konflik yang ada bukan hanya janji2 saja dan partai yang cinta dan rela berkorban untuk kemajuan bangsa bukan untuk kepentingannya sendiri.
dari sisi masyarakatnya pun harus mulai memakai haknya dan mendukung pemerintah, bukan demo dan protes saja tetapi berpikir dewasa dan terbuka karena memajukan sebuah bangsa bukan seperti membalikan telapak tangan tapi butuh proses dan pengorbanan. oleh karena itu, dalam sebuah sistem multipartai harus benar2 memiliki satu visi dan misi antara partai2, pemerintah, dan masyarakat; juga saling percaya, bekerja sama dan kesadaran untuk bersama-sama membangaun bangsanya.

untuk peristiwa yang terjadi di Thailand baru2 ini, pola pikir harus diubah menjadi pola pikir yang dewasa dan modern. apakah dengan memboikot bandara dan mundurnya PM Somchai W menyelesaikan masalah ? menurut saya keegoisan orang akan kekuasaan dan keinginan mereka membuta seberapa berharganya bangsa yang seharusnya mereka bangun.

heheheee....
sekian... trima kasih ya, pak !!!
GBU

neysa (51407012)
PIP kelas A

oliveddy mengatakan...

Menurut saya, Negara multi partai itu baik. Karena dengan banyaknya multi partai kita bisa memilih sesuai dengan keinginan kita, tanpa ada paksaan yang dimana apabila hanya ada satu partai, kita pun mau tidak mau harus mengikuti partai tersebut. Kalau multi partai, paling tidak kita bisa memilih, dan suara kita didengar. Apalagi, Negara kita adalah Negara demokrasi. Bebas memilih. Masyarakat ikut berpartisipasi untuk negaranya. Olivia (51407115)
Menurut saya, baik atau buruknya Negara multi partai itu tergantung dari yang memerintah, dan pemimpin partai tersebut. Menurut saya itu baik. Karena dengan banyaknya multi partai kita bisa memilih sesuai dengan keinginan kita, tanpa ada paksaan yang dimana apabila hanya ada satu partai, kita pun mau tidak mau harus mengikuti partai tersebut. Kalau multi partai, paling tidak kita bisa memilih, dan suara kita didengar. Apalagi, Negara kita adalah Negara demokrasi. Bebas memilih. Masyarakat ikut berpartisipasi untuk negaranya. Yang penting para partai politik tersebut bisa bersaing secara sehat. jadi negara tersebut juga aman (Indonesia). tidak seperti di Thailand.

Olivia Dipto (51407115)

Emu mengatakan...

Menurut saya, keberadaan multipartai di Indonesia fine-fine saja, namun kalau ditanya apakah eksistensi parpol-parpol sekarang sudah bisa memenuhi nilai liberalisme dan demokrasi di indonesia, saya bilang masih belum. Mengapa? Karena apabila saya lihat, tujuan adanya multipartai bukan untuk kepentingan rakyat atai sebagai media penyalur aspirasi. Sebaliknya, parpol-parpol yang ada di Indonesia lebih berorientasi pada kelompok kepentingan calon nya dan untuk mendapat profit serta kekuasaan. Lain lagi ceritanya apabila semua parpol tersebut bisa membuktikan janji-janji manis yang mereka buat selama ampanye dan benar-benar bisa memuaskan seluruh rakyat bukan hanya pendukungnya.

Emu mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Emu mengatakan...

Menurut saya, keberadaan multipartai di Indonesia fine-fine saja, namun kalau ditanya apakah eksistensi parpol-parpol sekarang sudah bisa memenuhi nilai liberalisme dan demokrasi di indonesia, saya bilang masih belum. Mengapa? Karena apabila saya lihat, tujuan adanya multipartai bukan untuk kepentingan rakyat atai sebagai media penyalur aspirasi. Sebaliknya, parpol-parpol yang ada di Indonesia lebih berorientasi pada kelompok kepentingan calon nya dan untuk mendapat profit serta kekuasaan. Lain lagi ceritanya apabila semua parpol tersebut bisa membuktikan janji-janji manis yang mereka buat selama ampanye dan benar-benar bisa memuaskan seluruh rakyat bukan hanya pendukungnya.


51407031
stephanie wiradjaja

BeLmOT mengatakan...

Menurut saya, baik atau buruknya suatu negara memiliki multi partai itu tergantung bagaimana anggota - anggota dari parpol2 itu sendiri. Karena semua sistem baik atau buruk itu tergantung bagaimana manusia di dalamnya dapat menjalankan sistem tersebut dengan baik atau tidak.

Jika setiap sumber daya manusia Indonesia memiliki pribadi yang baik dan bertanggung jawab, serta dapat memimpin negara ini dengan baik. Tentu saja kepentingan negara dan rakyat menjadi tujuan utama para pemimpin, bukannya malah kepentingan pribadi dan golongan, yang sekarang masih sering terjadi di negara kita ini.

So, menurutku emang penting sistem mana yang cocok untuk Indonesia. Tapi, lebih penting lagi manusia - manusia yang menjalankan sistem tersebut..

Btw, makasi pak udah diajarin politik selama krg lbh 1 taon ini..
Moga2 bisa berguna bt ak n temen2..
hehehe

Beta Ingrid Ayuningtyas
51407033

devilishmonz mengatakan...

Menurut saya, multipartai itu bisa berakibat baik dan bisa buruk. Baik, karena demokrasi dari negara tersebut terlihat sekali. Semakin banyak partai maka semakin banyak aspirasi masyarakat dan semakin banyak pilihan untuk menjadi negara yang lebih baik.
Buruk, karena negara dengan banyaknya partai akan terdapat banyak perbedaan pendapat. Banyaknya perbedaan pendapat menimbulkan seringnya terjadi gesekan antara pendapat yang satu dengan yang lain. Jadi tinggal bagaimana tindakan dari pemerintah terhadap para pihak yang berbeda pendapat. Dengan melihat kasus di Thailand beberapa saat yang lalu sistem multipartai dan sistem pemilu di Thailand sebenarnya telah memberi peluang terhadap keberlangsungan demokrasi yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat. Namun Sistem Monarkhi Konstitusional yang memberikan kekuasaan kepada raja sebagai penentu kebijakan negara justru tidak memberi peluang bagi berkembangnya demokrasi, meskipun raja telah berusaha keras untuk tidak memasuki koridor politik namun ketika menyangkut kehidupan rakyat banyak, ia tak bisa tinggal diam. Kudeta militer yang kerap terjadi, menunjukkan masih kentalnya egoisme pimpinan militer sekaligus pemerintahan sipil dalam memimpin dan menghendaki berjalannya sistem pemerintahan yang demokratis di Thailand. Gambaran dinamika sosial-politik di Thailand menunjukkan bahwa demokrasi yang diharapkan mempu membawa kesejahteraan rakyat, akan sulit berjalan di atas sistem otoriter dan egoisme militer atas sipil. Dengan demikian, nampaknya kehidupan demokrasi di Thailand akan makin sulit jika tidak ada perubahan berarti yang mampu merubah sistem dan perilaku pemimpin negara.

~isabella monalisa/51407083~

DaiSy mengatakan...

Sistem demokrasi liberal dengan multi partai sudah pernah gagal di Indonesia, namun pada era reformasi dipraktikkan lagi. Menurut saya, sistem ini tidak akan pernah melahirkan pemerintahan yang efektif sebab dalam sistem multi partai, tidak ada partai politik yang dominan, sehingga kepala negara terpaksa bersikap mengambang diantara kepentingan banyak partai. Hal ini membahayakan untuk negara berkembang seperti Indonesia.
Terlalu banyak partai yang ingin berlomba-lomba mencalonkan favoritnya untuk ikut didalam pemilihan umum yang sedang diambang pintu, namun menurut saya justru tidak akan memberikan kondisi yang positif karena kemunculan multi partai tersebut semakin meningkatkan ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik. Rakyat memberikan citra yang sangat buruk terhadap partai politik. Partai diisi oleh orang-orang yang tidak memihak kepada rakyat, tapi mencari keuntungan sendiri ketika meraih kekuasaan. Partai tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai sarana pendidikan politik kepada rakyat. Partai politik diurus oleh yang tidak berkapasitas tapi oleh sembarangan orang karena pengkaderan tidak jalan.
Jadi, menurut saya penyerderhanaan partai itu mutlak dilakukan, tetapi tetap harus fungsional. Jangan seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.. waktu itu memang ada penyederhanaan partai, akan tetapi Golkar disuruh ‘apa saja’ sementara PPP dan PDI didisfungsikan. Kesalahan Orde Baru itu bukan pada jumlah partai yang hanya tiga, tetapi karena salah memfungsikannya sehingga tidak dapat berjalan secara efektif.





Desy Ariskawati
51407085

dEpHiE mengatakan...

Menurut saya sistem multipartai sama sekali tidak apa-apa. Karena setiap partai memiliki hal yang sama untuk membuktikan kepada masyarakat visi mereka terhadap negara. Hal ini juga sesuai dengan hak yang diatur dalam undang-undang, bahwa setiap warga negara berhak untuk keluar masuk dalam sebuah organisasi, termasuk juga untuk mendirikan sebuah organisasi. Jadi, menurut saya sistem multipartai sama sekali tidak bermasalah karena dengan begitu rakyat Indonesia dapat menunjukkan salah satu bentuk partisipasi politiknya. Sekarang menurut saya yang harus diperbaiki adalah kualitas manusia baik calon pemimpin dan tubuh dari partai itu sendiri yang harus disamakan visinya. Mereka harus bebas dari KKN dan segala bentuk kecurangan lainnya.

Bukankah demokrasi berarti dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat? Tampaknya hal itu yang sering terlupakan oleh orang-orang yang sudah memiliki posisi politik. Jadi, sebenarnya yang penting dalam poin ini adalah kemampuan rakyat juga untuk jeli dalam melihat dan memilih partai-partai saat Pemilu 2009 nanti. Dalam hal ini rakyat juga membutuhkan bantuan media massa untuk melakukan perannya sebagai pilar keempat dengan baik dan efektif. Tidak semata-mata menonjolkan partai tertentu, namun dapat memberikan informasi secara objektif. Di sisi lain, setiap parpol dapat dengan terbuka dan transparan menjelaskan visinya kepada rakyat dan menunjuk calon yang benar-benar tepat untuk maju agar kepentingan rakyat dapat selalu dikedepankan. Dengan begini pasti demokrasi dapat berjalan dengan semestinya.


Deviana
51407017

Anonim mengatakan...

Wah.. Pak Gatut bisa aja nih memakai blog untuk perkuliahan haha.. It's quite attractive.. Karena aku ngga ikut kelasnya, jadi gak ikut kasih jawaban se-komplit itu deh hahaha..

Kalo lihat dari jawaban temen2, hebat juga ya mereka (baik terpaksa atau tidak) bisa mulai berpikir ttg politik, menganalisa situasi politik bisa jadi satu cara agar tidak cuek dengan politik.

Pak, ada usulan nih, tapi via FB aja deh haha..

All, bersiaplah untuk pesta demokrasi mendatang!! Jangan hanya asal memilih tapi pertanggungjawabkan pilihanmu untuk harapan yang lebih baik bagi Indonesia! ^^


nb: Kutunggu Pak Gatut mampir ke blogku ya haha..

Unknown mengatakan...

I like this blog, good luck ..! also visit hotel in bandung or nikon digital camera cases , jasa pengamanan and penginapan di jakarta