Kamis, 03 Desember 2009

Dilema Interaksi Serumpun dan Komunikasi Biner

Oleh Gatut Priyowidodo

TIDAK tanggung-tanggung, Dr. Mahatir Muhamad mantan Perdana Menteri Malaysia bereaksi keras atas aksi Sapu Malaysia (Sweeping) yang dilakukan sekelompok pemuda yang menamakan dirinya Bendera (Utusan Online, 12 September 2009).
Aksi diplomasipun segera dilakukan Menlu Malaysia YB Datuk Anifah Haji Aman yang sampai memanggil Duta Besar RI untuk Malaysia Da’i Bachktiar di Kuala Lumpur, guna klarifikasi soal ini. Bahkan karena menganggap issu ini sensitif, serta bisa menggiring problem yang lebih serius, Menlu Malaysiapun secara khusus bakal menemui Menlu Hassan Wirajuda di Jakarta.
Sekalipun Indonesia melihat, aksi sporadis ini bersifat provokatif dan tidak merepresentasikan mayoritas suara publik, tetap saja pemerintah harus cermat dan hati-hati mengontrol perkembangan. Apakah sikap demi harmoni warga serumpun, seranting lebih tinggi ketimbang martabat bangsa ataukah justru terbaca adanya kekuatan sipil yang mengumpan kegaduhan politik domestik menjelang demisioner pemerintahan?

Membuka Luka Lama
Relasi dan interaksi politik dua negara serumpun ini, memang selalu mengalami irama pasang surut. Klimaksnya, terjadi ketika PM Soebandrio mengumumkan perang dengan Malaysia pada 20 Januari 1963. Tiga bulan kemudian, tepatnya 12 April, pasukan para militer (sukarelawan) bergerak tangkas dan sudah memasuki wilayah Sabah dan Sarawak untuk aksi propaganda, sabotase dan penyerangan.
Pada tataran indoktrinasi, Presiden Soekarno mengumandangkan instruksi Dwikora yang berisi pertinggi ketahanan revolusi Indonesia serta bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia.
Tentu saja, gelegar spirit revolusioner tersebut ibarat gayung bersambut. Presiden Soekarno yang merasa jatidirinya terhina dina oleh ulah demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, ledakan amarah Soekarno terhadap Malaysia kian menemukan aktualisasi.
Ia tak pernah gigrik untuk penghinaan simbol martabat negara. Bahkan ketika negara yang dimusuhi ini akhirnya diterima PBB pada 20 Januari 1965, Indonesia memilih lebih baik keluar dari asosiasi tersebut. Mendirikan PBB tandingan dengan nama Conefo dan Olimpiade tandingan-Ganefo. Indonesia adalah negara yang punya martabat dan bukan boneka. Sayang, ketika martabat itu kembali dikoyak, para pemimpin Indonesia selanjutnya lebih pandai berkompromi daripada beraksi. Hingga kemudian solah-olah tenggelam dalam percaturan regional satu kawasan, apalagi diperhitungkan dilevel global.

Fakta Telah Berubah
Diakui atau tidak, menatap Malaysia kini, tentu tak bisa mengandalkan perspektif sejarah masa silam. Jika kala itu Bung Karno merasa tak nyaman dengan Malaysia yang dianggap boneka Inggris, empat dekade kemudian kekuatiran itu mesti dienyahkan. Malaysia tumbuh begitu dinamis, jauh melampaui negara yang dulu pernah mau mengganyangnya. Income perkapita Malaysia (2008) US$ 7.800, sementara Indonesia berkisar US$2.200. Perbandingan itu tentu saja tidak adil, jika dipertautkan dengan jumlah penduduk dan keluasan geografis. Indonesia mengurusi 230 juta jiwa, sedang negeri Jiran tersebut hanya 27 juta. Tentu saja itu sangat berimplikasi dengan tingkat pendapatan perkapitanya. Baik jika itu yang dipersoalkan. Tetapi sesungguhnya, Malaysia memang sejak awal telah memiliki skema pembangunan nasional yang jelas. Hingga tahun 2010 nanti, ada tiga tahapan yang secara konstan harus dilewati. Pertama periode NEP -New Economy Policy, 1971-1990; kedua NDP-the National Development Policy, 1990-2000 dan ketiga, NVP-the National Vision Policy, 2001-2010 (Jawan, Malaysian Politic & Government,2008).
Indonesia sejatinya juga tidak kalah. Kita punya Pelita, Repelita dan PJP, tapi sejak reformasi semua seolah-olah tertanggal dari pertautannya. Tahapan apa dan jenjang pencapaiannya bagaimana, seakan samar tertelan dinamika politik partisan yang amat gempita. Tiba-tiba tanggal 22 Maret 2007 muncul gagasan Visi Indonesia 2030 yang disampaikan Yayasan Indonesia Forum, bahwa jika kita taat pada tiga keharusan yakni ekonomi berbasis keseimbangan pasar, pembangunan berbasis SDA, manusia, modal dan teknologi yg berkulitas, serta perekonomian yang terintegrasi dengan kawasan sekitar dan global, maka Indonesia bakal masuk 5 negara besar dan berincome perkapita US$ 18.000 (Kompas, 23 Maret 2007).
Terus terang, hingga dua tahun setelah itu, saya kerap lama tertegun, dan merenungkan, realistiskah gagasan imajiner tersebut. Mengapa koq tidak lembaga sekaliber Bappenas yang punya rancang bangun sevisioner itu? Malaysia dengan konstelasi politik yang relatif stabil serta skema pembangunan yang jelas dalam kurun 40 tahun saja hanya mampu mencapai kisaran perkapita US$ 8000, Indonesia yang start dengan angka US$ 2000-an, duapuluh tahun kedepan, apa iya bisa mencapai lompatan sembilan kali?
Introspeksi Diri
Belum juga kita beranjak memahami visi 2030 itu agar membumi, energi kita terus dikuras dengan berbagai issu yang tidak masuk agenda. Kali ini, klaim Malaysia atas warisan budaya Indonesia. Bahkan sudah berulang-ulang kali. Sejak tahun 1957 (Terang Bulan) hingga 2009 (Tarian Pendet dan Tenun ikat Sambas) sudah ada sekurangnya 24 items yang diklaim sebagai warisan budaya mereka. Maka jangan heran jika ke depan nanti masih ada lagi klaim-klaim serupa. Masalahnya, apakah setiap kali warisan itu direkognisi mereka, lalu respon kita kemudian panik dan mensweeping? Bukannya kemudian instropeksi diri, adakah yang kurang pas dengan proteksi warisan budaya dan keterbukaan komunikasi lintas generasi yang masih terhitung satu sanak ini?
Koeksistensi dalam damai jauh lebih baik daripada menukar dengan spirit permusuhan. Ingat, 2,2 juta TKI ada di negeri ini dan 8000 orang hidup dalam terali penjara sebagai ’banduan”. Justru yang perlu didorong adalah bagaimana dua pemerintahan terus melakukan dan mengintensifkan komunikasi politik dua arah (biner) yang saling kooperatif dan bisa memberi perlindungan TKI disana agar terhindar dari korban kekerasan dan eksploitasi. Untuk sementara serahkan dulu kepada Eminent Person Group (EPG) Indonesia-Malaysia yang bakal mengkaji semua issu dua negara ini secara serius.. Saudaraku calon sukarelawan, berpikirlah dengan tenang, dengarkan kata hati, jangan emosi !


oooOOOooo

Tidak ada komentar: