Rabu, 29 September 2010

Blog Media and Civil Society Empowering in Indonesia

Gatut Priyowidodo
Communication Departement
Petra Christian University Surabaya
Email:gatpri@peter.petra.ac.id

Abstract

Blog is a new media in IT era. Everybody can make blog as to communication and to distribute his/her ideas. Blog also a tool to do civil society empowering process. The presenting of blog is a sign which living in citizen journalism era. Whoever them, actually they are owner, reporter, writer and also marketer for their products.
The equality of relationship among state and people is a final target of civil society empowering process. The state needs strong people. It will give opportunity in defends to face some distresses in the future. There are four stages to build strong civil society. First is defend stage. Second is emergent stage. Third is mobilizational stage and fourth is intituzional.
Indonesia has been learning to become the third biggest democracy country since 1998. The best democracy is also required the growth of good civil society. In this article I discribe that there are three patterns of relationship between state and civil society: state centris, civil society centris and the equality relationship.
Key words: blog, civil society, democracy


Pendahuluan
Blog atau web blog sebagai bentuk dari pengejawantahan ‘citizen journalism’ telah mendobrak hegemoni media konvensional. Pada era perkembangan IT (Information Tecnology) yang demikian pesat, siapapun kita bisa menjadi bahan berita, media berita dan pelapor berita. Tidak terkecuali apakah anda di negara yang sangat maju ataupun terbelakang. Di kota yang paling modern ataukah yang masih tradisional sepanjang ada akses internet, segala proses pemberitaan bisa dilakukan.
Jika media-media konvensional (print media dan electronic media) terkendala dengan persoalan material, keluasan jaringan, pemasaran produk dan dukungan infrastruktur teknis lainnya tidak demikian halnya dengan blog. Blog dalam perkembangannya yang progresif dan revolusioner telah menjelajah ke semua belahan planet bumi ini. Detik ini berita ter-upload dari kampus Petra Siwalankerto, pada saat yang sama berita itu sudah dapat diakses di Rwanda (Afrika), atau Vanuatu (Negara Kepulauan di Pasifik) hingga di Kazakstan (Eropa Timur) bahkan dimanapun anda berada.
Kecepatan, keakurasian hingga keberluasan jaringan telah menciptakan potensi pasar sekaligus instrumen penyebaran ide-ide yang tanpa batas. Dalam konteks penyebaran gagasan tersebut, ide apapun bisa dikampanyekan atau diprovokasikan tanpa perlu takut lembaga sensor atau larangan dari negara.
Negara sebagai agen kontrol telah kehilangan wibawa bahkan powerless dalam menghadapi kepiawaian kerja teknologi. Sekalipun terus diupayakan agar terjadi filterisasi informasi yang masuk ke wilayah tertentu, tetap saja selalu ada pintu atau jalan tembus lain yang tak bisa diblokade. Kasus penyebaran film Fitna oleh You Tube yang kemudian diakses hampir semua orang yang berminat, negara hanya bisa mengeblok (block site) sementara dan di area tertentu. Wilayah yang tidak tercover block site, tetap saja bisa mengakses secara leluasa.
Di rimba belantara alam maya tersebut tidak ada hukum. Apapun informasi yang hendak disiarkan, tidak ada regulasi yang mengatur. Tergantung kemudian kemampuan selektifitas apakah informasi itu memberi manfaat atau tidak. Ilmiah atau sampah. Semuanya terpulang ke pengguna (user).
Karena sifat media blog itu sangat personal, maka semua juga kembali kepada visi dan misi awal pembuatan blog tersebut untuk apa. Itu menjadi penting, karena publik sendiri akan secara independen menentukan dan mencari apa yang sesungguhnya bermanfaat bagi dirinya. Mereka yang berminat perkembangan ekonomi, tentu akan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi terkini persoalan tersebut. Demikian juga dengan permasalahan politik, demokrasi hingga hal-hal yang berkait dengan civil society.
Melimpahnya informasi di alam virtual tersebut selain merupakan keberuntungan, namun bisa menjadi kebuntungan bila pemanfaatanya tidak tepat. Blog menjadi sarana yang tepat, jika dikelola dengan tepat. Ia bisa menjadi sarana yang efektif untuk melakukan sosialisasi pemikiran-pemikiran kritis termasuk didalamnya upaya membangun kesadaran civil society.
Konsep civil society itu sendiri selalu menarik jika dipertentangkan dengan konsep kekuasaan negara. Asumsi dasar yang melatarbelakangi adalah negara diasosiasikan sebagai pihak yang mempertahankan status quo, konservatif dan anti pembahuruan. Sebuah kenyataan yang tentunya berseberangan dengan civil society yang berperan sebagai pihak yang ingin melakukan reformasi, menentang status quo kekuasaan serta berusaha mendapatkan kesejajaran dalam kepemilikan hak-hak politik dengan penguasa.
Oleh sebab itu menurut Pelczynski1, pemisah konseptual antara negara dan masyarakat merupakan salah satu di antara beberapa permasalahan yang menjadi perhatian Hegel di dalam fisafat sosial politiknya. Pemahaman pandangan Hegel terhadap civil society secara kuat berhubungan dengan fenomena masyarakat borjuasi Eropa (burgerliches Gesell-schaft) yang proses pertumbuhannya ditandai oleh proses perjuangan untuk melepaskan diri dari dominasi negara. Masyarakat sipil mengidealkan terciptanya suatu ruang gerak yang menjadi domain masyarakat, di mana intervensi negara ke dalamnya merupakan sesuatu yang tidak sah atau illegitimate.
Dengan kenyataan seperti itu maka hubungan antara negara dan kekuatan civil society selalu diwarnai oleh dinamikanya tersendiri. Pada kurun waktu tertentu kekuasaan negara begitu dominan sehingga amat membatasi ruang gerak kekuatan sipil untuk melaksanakan perannya. Akan tetapi, pada masa yang lain, civil society karena kemampuan mengkonsolidasikan dirinya secara kohesif ternyata bisa pula menumbangkan hegemoni negara guna melakukan reformasi yang dianggap perlu.


Konsep “Civil Society”
Sebagai sebuah konsep menurut Hikam2, civil society berasal dari proses sejarah masyarakat Barat. Akar perkembangannya dapat dirunut mulai Cicero dan bahkan, menurut Manfred Riedel, lebih ke belakang sampai Aristoteles. Yang jelas, Cicerolah yang memulai menggunakan istilah societes civilis dalam fisafat politiknya. Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara yakni suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Jadi istilah-istilah seperti koinonia politike, societas civilis, societe civile, buergerliche gesellschaft, civil society dan societa civile dipakai secara berganti-gantian dengan polis, civitas, etat, staat, state dan stato. Maka ketika Rousseau menggunakan istilah societes civile, ia memahaminya sebagai negara yang salah satu fungsinya adalah menjamin hak milik, kehidupan dan kebebasan para anggotanya.
Tetapi dalam perkembangan selanjutnya konsep tersebut ternyata tidaklah terlampau rigid untuk bisa dipahami. Bahkan beberapa kalangan ilmuwan sosial pun memiliki terminologi sendiri-sendiri untuk lebih jauh mengerti konsep tersebut. Kendati semula antara negara dan civil society merupakan dua hal yang selalu saling dipertukarkan tanpa menimbulkan problem, ternyata seiring dengan proses pembentukan sosial dan perubahan-perubahan struktur politik di Eropa sebagai akibat pencerahan (Enlightenment) dan modernisasi dalam menghadapi persoalan duniawi, yang keduanya turut mendorong tergusurnya rezim-rezim absolut. Para pemikir politik yang memelopori perbedaan ini antara lain para filsuf pencerahan Skotlandia yang dimotori oleh Adam Ferguson dan beberapa pemikir Eropa seperti Johann Forster, Tom Hodgkins, Emmanuel Sieyes, dan Tom Paine.
Begitupun dalam tahap berikutnya, konseptualisasi civil society ini malah diposisikan sebagai antitesis dari state. Dalam studi E. Gyimah-Boadi3 di beberapa negara Afrika amat jelas tergambar bahwa kekuatan civil society di sana yang diwakili oleh institusi gereja, aktivis prodemokrasi, gerakan maha-siswa, kalangan NGO mengambil posisi terang-terangan berhadapan dengan kekuasaan state yang konservatif. Dengan demikian betapapun pada awalnya dua konsep tersebut dipersamakan perannya, namun tidak dimungkiri bahwa misi mereka juga berbeda.
Namun begitu secara garis besar jika dikaji lebih jauh tentang konsep civil society ini ditemukan dua aliran besar yang selama ini menjadi panutan. Yakni aliran yang dikembangkan Hegelian-Marxian yang berintikan bahwa kekuatan civil society kendati menekankan kemandirian namun juga perlu kontrol baik lewat kontrol hukum, administratif, maupun politik. Aliran kedua adalah aliran reaksionis terhadap pemikiran Hegel tersebut yang dipelopori oleh pemikir Robert Mohl, J. S. Mills, Anne de Stael dan Alexis de'Tocqueville. Jika konsep pertama memberi posisi unggul terhadap negara, kelompok pemikir yang kedua ini justru sepakat untuk mengembalikan dimensi kemandirian dan pluralitas dalam civil society. Bahkan menurut de'Tocqueville, kekuatan politik dan civil society-lah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemadirian, dan kapasitas politik dalam civil society, akan tercipta kekuatan yang mengontrol kekuatan negara.
Oleh karena itu sebagai panduan dalam memahami konsep civil society artikel ini akan merujuk terminologi yang dikemukakan oleh de'Tocquevile. Civil Society didefinisi-kan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain: kesukarelaan, keswasembadaan, dan keswadayaan, kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.

Hubungan Negara dan “Civil Society”
Bertolak dari terminologi yang dijelaskan oleh de'Tocquevile tersebut dapatlah kiranya dipahami bagaimana kemudian dilihat relasi negara dengan kekuatan civil society untuk beberapa kasus kajian.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Douglas Saltmarshe4 di kawasan Asia Tengah ditemukan fakta empirik bahwa munculnya kesadaran warga masyarakat ternyata tidak bisa datang dengan sendirinya. Tetapi lebih banyak distimulasi oleh peran yang dimainkan oleh institusi-institusi NGO-NGO. Dengan semakin tumbuh dan menguatnya kesadaran rakyat, membuka peluang yang lebih lebar terhadap peningkatan kesejahteraan warga. Ujungnya adalah parti-sipasi warga baik di bidang politik maupun sosial mengindikasikan kenaikan.
Negara yang semula hanya memainkan peran pasif dalam pengertian tidak membuat upaya yang sungguh-sungguh agar warga negaranya sadar akan hak-hak politik mereka, dengan keterlibatan aktif kalangan LSM-LSM sebagai kekuatan civil society dipaksa untuk mau memberikan kesempatan yang lebih luas lagi kepada warga negaranya.
Dalam konteks negara Rusia yang bersistem politik totaliter tersebut memang amatlah sulit mengharapkan bahwa rakyat Rusia diberikan kebebasan yang agak longgar baik dalam bidang politik, kultural maupun sosial. Kontrol yang sangat kuat dari Politbiro Partai Komunis Rusia hampir di seluruh sendi kehidupan masyarakat, memaksa rakyat melepaskan hak-hak individunya yang paling asasi sekalipun demi kepatuhan kepada rejim yang berkuasa.
Di tengah-tengah situasi semacam itulah, kehadiran NGO-NGO di sana khususnya yang bergerak dalam penanganan krisis Laut Aral menemukan relevansinya. Oleh sebab itu tentu saja tantangan berat dihadapi oleh kalangan aktivis NGO-NGO ini ketika ingin melakukan 'perlawanan' kepada hegemoni negara sebab di Rusia hanya dikenal satu organisasi politik yakni Partai Komunis. Di luar partai tersebut, tidak diijinkan organisasi apa pun untuk hidup di negara itu.
Maka sebetulnya apa yang ditempuh oleh aktivis NGO Lingkungan Hidup tersebut tidak lain adalah juga mencerminkan kegigihan perjuangan civil society terhadap dominasi kekuatan negara. Secara perlahan karena ada dukungan yang kuat dari pihak PBB (UNEP = United Nations of Environment Program), Bank Dunia maupun LSM-LSM dari luar negeri perjuangan mereka atas penindasan rejim totaliter tersebut pun membuahkan hasil.
Dalam perspektif yang tidak jauh berbeda, studi yang dilakukan oleh E. Gyimah-Boadi5 menunjukan bahwa proses demokratisasi khususnya di beberapa negara Afrika tersebut adalah mustahil jika atas inisiatif murni dari elite politik yang berkuasa. Iklim serta sistem politik yang demokratis muncul oleh sebab ada perjuangan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang sadar akan keberadaan mereka melawan kekuasaan yang sewenang-wenang.
Sekelompok orang itulah yang sebenarnya menjadi 'motor penggerak' lahirnya kekuatan civil society. Yang sudah barang tentu tingkat keberhasilan mereka memiliki derajat yang berbeda-beda. Perjuangan civil society guna melakukan demokratisasi malah pernah sampai pada jalan buntu (stalemated) sebagaimana terjadi di Nigeria, Zaire. Sedang di Burkina Faso, Kameroon, Ghana, Kenya dan Togo masih penuh ambiguitas. Tetapi yang agak lebih berhasil bisa ditemukan di negara-negara seperti Benin, Malawi, Afrika Selatan dan Zambia.
Pemeran civil society inipun umumnya selalu dikendalikan kalangan terdidik. Di Ghana, Kenya dan Togo mereka yang berperan berasal dari asosiasi-asosiasi pengacara kelas menengah, profesor perguruan tinggi dan aktivis mahasiswa. Di Kenya malah yang bertindak sebagai penentang keras kekuasaan authoritarian Presiden Daniel arap Moi adalah Dewan Gereja Nasional Kenya (The National Council of Churches of Kenya). Di Republik Benin sebuah negara yang berbahasa Perancis yang memainkan peranan adalah pekerja sipil, guru hingga pedagang yang mendemo untuk segera mengakhiri kekuasaan autokrasi serta pengelolaan ekonomi yang salah.
Dengan fakta-fakta sedemikian itu semakin memperjelas tesis bahwa kekuatan civil society betapapun mereka digerakan oleh sekelompok kecil warga masyarakat, jika mereka berjuang demi kepentingan rakyat yang tertindas tidak mustahil bisa menumbangkan sebuah rejim yang korup dan tidak menghargai HAM.
Sejarahpun mencatat bahwa perkembangan civil society khususnya di Uni Soviet (sebelum bubar) dan beberapa negara Eropa Tengah (Central Europe) juga sudah mulai menguat seiring dengan semakin meningkatnya kemenangan kelompok Solidaritas di Polandia periode 19801981. Analisis lebih jauh tentang ini bisa di telusuri melalui kajian yang dilakukan oleh Marcia A. Weigle and Jim Butterfield6 yang mengemukakan bahwa baik di Eropa Tengah (Polandia, Hongaria maupun Czechoslovakia-sebelum pecah tentunya) dan di Soviet kekuatan civil society muncul adalah melalui kalangan reformis yang berusaha melakukan 'perlawanan' terhadap penguasa tunggal Partai Komunis.
Terlebih di Indonesia, ketika reformasi bergerak 10 tahun yang lewat, tidak mungkin mengharapkan semua itu datang dari Orde Baru yang hegemonik. Kalangan terpelajar kelas menengah, mahasiswa, aktivis, pers, dan kalangan NGO-lah yang cukup mengambil peran. Demikian juga yang terjadi di Filipina, Thailand dan saat-saat ini juga merambah Malaysia. Kekuatan pengubah (agent of change) selalu dimotori kaum terpelajar sebagai pemegang kendali.
Era berubah. Metode pergerakan untuk mengkonsolidasi semangat civil society-pun harus mengikuti tren. Jika pada awalnya pola-pola fisik lebih dominan dengan membenturkan langsung antara state dengan kekuatan pluralis, sekarang justru yang dikedepankan adalah memperluas kesadaran hidup bercivil society.
Media telah mengambil peran cukup signifikan. Hanya melalui medialah nilai-nilai hidup dalam semangat civil society tersebut bisa disebarluaskan. Bila pada permulaannya didominasi kalangan elite menengah terdidik, maka tidak bisa tidak sekarang harus sudah menjadi bagian integral dari seluruh masyarakat.
Itu sebabnya individu-individu terpelajar tersebut, harus mau melakukan transformasi dan redistribusi ide-ide kehidupan berdemokrasi kepada seluruh kalangan yang kemungkinan selama ini terlewat dari perhatian. Memang disadari, bahwa jika harus mengandalkan media konvensional selain jangkauannya terbatas aspek biaya secara ekonomis juga tidak murah. Maka instrumen yang terjangkau, modis, seksi dan tidak takut dibredel oleh Pemerintah (untung peran ini sudah dilucuti) adalah memaksimalkan fungsi-fungsi sosial media blog.
Pada tahun 2008 di Indonesia tercatat 600.000 individu yang memiliki blog dengan aneka ragam misi. Peningkatan dua kali lipat dari tahun sebelumnya (2007) yang baru mencapai angka 300.000-an. Diperkirakan pada tahun 2009 ini jumlah blogger bakal menembus angka satu juta lebih. Namun jika 10 persen saja berorientasi ke pemberdayaan civil society tentu dampaknyapun akan sangat dirasakan. Terlebih lagi, pertumbuhan pemakaian internet saat ini sudah berkisar antara 28-30 juta orang. Tentu diharapkan mereka yang hidup dengan memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya selaku warga negara, juga makin meluas. Itu artinya negara juga semakin seksama memperhatikan rakyatnya. Karena rakyat semakin kritis, setiap pengambilan keputusan politikpun, harus secara cermat memperhitungkan agar tidak merugikan kepentingan mereka.

Tahapan Penguatan Civil Society
Sekurangnya ada empat tahap perkembangan civil society yakni tahap defensive di mana secara privat individu dan kelompok-kelompok independen baik aktif maupun pasif mempertahankan otonomi mereka melawan partai negara. Tahap ini amat krusial bagi siapapun. Ide-ide alternatif yang membuka wawasan berkesadaran berwarga akan dengan mudah dilenyapkan. Mereka yang hidup dalam suasana politik Orde Baru (1966-1997) amat merasakan kekangan seperti itu.
Tahap emergent di mana kelompok-kelompok atau gerakan-gerakan sosial independen berupaya mencari batasan tujuan dalam memperluas ruang publik yang didapatkan melalui reformasi partai negara. Kondisi ini ibarat hidup dalam permainan yang harus secara cermat memperhitungkan taktik dan strategi. Tidak mudah, namun harus dijalani karena warga negarapun terikat oleh sistem politik yang ada. Perjuangan apapun selalu ada resikonya. Maka yang terpenting adalah meminimalisir resiko untuk mencapai hasil yang maksimal. Berbagai bentuk gerakan underground seolah menjadi tren perjuangan untuk menyiasati keadaan.
Tahap mobilizational di mana kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan independen berupaya meruntuhkan legitimasi partai negara melalui serangkaian bentuk-bentuk pemerintahan alternatif dengan mempolitisir masyarakat. Fase inilah yang menandai turunnnya Pak Harto pada 21 Mei 1998 setelah berkuasa 32 tahun. Gerakan demonstrasi besar-besaran menjadi triger utama negara kehilangan kuasa. Tentu ini hanyalah gerakan ‘mop’ (pembersihan sementara), tidak bisa terus menerus.
Tahap institutional di mana pemimpin memperoleh dukungan publik untuk membuat undang-undang guna menjamin aksi sosial mereka berkaitan dengan hubungannya antara negara dan masyarakat yang diatur melalui pemilihan yang bebas. Artinya, sudah ada kesadaran bahwa membatasi ruang gerak rakyat itu tiada guna. Namun semua itu mesti terus menerus dihembuskan agar negara tidak abai. Otonomi Daerah yang luas, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Pemilihan Legislatif Multi Partai hingga Pemilihan Presiden Langsung adalah bukti ternyata upaya-upaya membangun kesadaran hidup berdemokrasi itu panjang dan tidak mudah.
Ternyata peran civil society untuk dua tahap pertama memang belumlah dirasakan benar, sebagai pihak yang mampu memperjuangkan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Tetapi kesadaran rakyat sudah mulai bangkit, sehingga mempermudah implementasi dua tahap lanjutannya. Baik di Eropa Tengah maupun di masa Rusia sekarang ini atau Butterfield menyebutnya dengan istilah posttotaliarism kekuatan civil society secara sadar memang berperan aktif dalam upaya merekonstruksi relasi baru negara-rakyat dalam suasana saling menghargai. Jika di belahan negara yang pada jamannnya, sangat phobi akan demokrasi sekarang sudah berangsur menghargai rakyatnya terlebih di Indonesia. Tentu ini sebuah keberuntungan jika Indonesia mengalami fase pertubuhan kehidupan berdemokrasi yang baik. Banyak negara berusaha hidup dengan multipartai tetapi terus tersandung dengan berbagai konflik horizontal yang massif, Indonesia agaknya terus bisa memperbaiki diri.
Berdasarkan studi lapangan yang dipaparkan di atas sangat jelas terlihat bahwa kekuatan civil society itu selalu muncul dan terbentuk sebagai reaksi yang sadar atas ketidakmampuan negara mengakomodasi segenap kepentingan rakyat dan yang bahkan melakukan eksploitasi kemerdekaan atas hak-hak asasi mereka selaku manusia.
Negara sebagaimana dipahami oleh J.J. Roseeau yang mestinya bertindak sebagai penjamin dan pemberi rasa aman telah mengalami pergeseran fungsi. Sebab itu untuk mengembalikan fungsi fitrahnya harus ada semangat gugatan balik yang diwujudkan dalam bentuk perjuangan masyarakat sipil. Hanya dengan cara demikian relasi negara dan masyarakat sebagai warga negaranya akan menampilkan keterkaitan kooperasi yang sejajar tanpa ada unsur dominasi superior dengan memperalat kekuasaan negara secara tak terkendali.
Betapapun begitu kontrol negara tetap penting sebagaimana pendapat Hegel, tetapi tidak niscaya teramat ketat sehingga tidak memberikan kelonggaran berimprovisasi. Jika sekali waktu nanti civil society tidak lagi mampu menyuarakan visi dan misi dasarnya boleh jadi ia sudah terperangkap bahkan terkubur dalam liang apa yang disebut Michael W.Foley dan Bob Edwards maupun Jeffrey C. Alexander8 sebagai realitas the Paradox of Civil Society. Tentu kondisi ekstrim itu tidak kita harapkan. Maka seluruh potensi yang sewaktu reformasi (1997-98) telah banyak mengambil peran, sekarangpun terus dituntut agar secara berkesinambungan menyebarluaskan kemegahan good practices dari terminologi civil society. Jika dengan media blog bisa dilakukan, mengapa tidak terus menerus dikerjakan?

Pola Relasi Civil Society
Pola relasi negara dan masyarakat sipil di manapun selalu dalam kondisi bertumbuh. Seberapa besar tingkat pertumbuhan sangatlah tergantung pada dua dimensi utama. Pertama, bagaimana negara (state) dan kekuatan civil society mampu merespon perkembangan yang ada. Dan kedua, bagaimana faktor-faktor eksternal memberikan bobot dan pengaruhnya.
Terhadap dua dimensi di atas akan mudah diketahui pola relasi macam apa yang akan dikembangkan dalam kaitan hubungan antara state dan civil society tersebut. Ada tiga model yang umum dijadikan pola relasi. Pertama, pola state centris yakni menempatkan state pada posisi amat kuat dan rakyat pada kedudukan yang sub ordinat. Pola macam ini sangat tidak apresiatif terhadap hak-hak sipil warga. Corak pemerintahan yang dikembangkan cenderung otoriter.
Kedua, pola civil society centris. Lahirnya pola ini sebagai gugatan terhadap dominasi negara atas warganya. Kontributor utama munculnya pola ini adalah adanya proses demokratisasi yang sangat luas berkembang di era 1990-2000-an. Hampir tidak ada tempat bagi negara yang masih bercokol pada sistem pemerintahan yang otoriter. Disadari atau tidak jika negara tidak mau teralienasi dan terisolasi dari percaturan politik global, mau tidak mau harus berani mengambil sikap welcome terhadap segala bentuk perubahan tersebut.
Terlebih lagi gelombang peluberan arus informasi (spill of information), yang terus mengalir sampai ke wilayah paling pelosok sangat memberi stimulasi bagi munculnya penyadaran-penyadaran hak-hak sipil warga. Kekuatan informasi ini (information power) cenderung mengkristal dan berperilaku sebagai the spirit of struggling dalam mengartikulasikan kepentingkan civil rights. Dalam konteks demikian posisi state tetap akan defensif. Perubahan akan muncul jika stamina aktor-aktor pengerak kekuatan civil sosciety tetap prima sekaligus mampu berkolaborasi dengan berbagai kelompok penekan yang lainnya. Dan jangan salah, pada era IT saat ini pemberdayaan potensi media harus bisa secara maksimal dilakukan. Bukankah itu yang bisa kita baca dari kemenangan Barrack Obama dari Jhon McCain dalam memperebutkan kursi Presiden AS (2009-2012), karena kubu Obama amat melek internet dan maksimal memanfaatkan Facebook?
Jika bentuk kolaborasi ini secara konsisten dipertahankan, state pertama-tama akan akomodatif dan tidak menutup kemungkinan justru kekuatan sipil ini amat dominan. Pada sisi ini kekuatan civil society akan menemukan jatidirinya sebagai entitas sebuah state yang kehadir-annya harus diperhitungkan dan negara meski tidak pada posisi ‘soft state’ tetapi tidak lagi mengukuhi asumsi konservatif bahwa state adalah tahu segalanya yang terbaik bagi warganya.
Pola relasi yang ketiga adalah pola kombinasi antara state dan civil society. Mereka meski secara faktual bisa saling diperhadapkan tetapi secara subsatansial kerapkali ide dasar perbedaan yang melatar-belakanginya adalah motode atau instrumen yang dipakainya. Secara hipotetis penulis mengadopsinya sebagai bentuk pola relasi pola poros tengah* .
Betapapun jika posisi negara amat lemah dan civil society menjadi kuat atau sebaliknya posisi civil society lemah dan state kuat, pada dasarnya selain ada kebaikannya juga melekat terdapat kelemahan yang bisa merugikan keduanya.
Negara yang lemah akan sangat kuat memiliki kecenderungan kehilangan jati dirinya. Secara politik dan ekonomi ini amat merugikan, terlebih dalam konteks hubungan internasional. Begitupun jika kekuatan sipil sangat diabaikan, negara akan cenderung tidak memiliki sense of who is himself. Pada tataran demikian negara tidak akan ada yang mengontrol. Hal demikian juga tidak akan kondusif, bagi munculnya kekuatan-kekuatan yang tidak sepaham dengan pemerintahan.
Memang amat rasionalis jika negara dan civil society tersebut ditempatkan pada posisi yang memiliki keseimbangan. Baik sosial, politik dan ekonomi. Dengan cara demikian negara akan bisa terhindarkan dari keterperosokan oleh sebab ada yang mengontrol namun juga tidak memumculkan anarkhisme oleh sebab tetap dihormatinya pranata-pranata sosial yang ada oleh sebab negara masih mampu menjalankan peran dan fungsinya secara baik.

Penutup
Dari tiga pola relasi seperti di atas, lantas muncul pertanyaan pola relasi macam apa yang terbaik diimplementasikan. Dan media apa yang cukup kokoh mengkontribusi terbentuknya pola tersebut? Oleh sebab sejak awal artikel ini tidak dalam posisi adjustment (mengambil penilaian), maka berdasarkan titik-titik simpul yang diketengahkan tersebut sudah barang tentu ada kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan pada setiap pola relasi yang ada.
Namun yang pasti dan jelas adalah mengoptimalkan kekuatan potensi media adalah sebuah keniscayaan. Melalui spirit ‘citizen journalism’ dimana individu itu sendiri adalah pusatnya, maka semunya harus dikelola secara profesional. Hasil yang optimal selalu berasal dari kerja yang maksimal.
Civil Society yang kuat dan berdaya, sesungguhnya amat menguntungkan negara. Negara akan memiliki daya survival yang tinggi ditengah derasnya arus neo liberalisme yang sekarang menggempur setiap negara di wilayah manapun. Krisis ekonomi global yang saat ini mendera, pada tingkatan tertentu pasti mencapai titik ekuilibrium. Pada saat seperti itu, semuanya akan berjalan normal-normal saja dan semua orang akan terbiasa. Ketika semua dilihat menjadi sebuah kenormalan, pada saat itulah sebenarnya proses pemberdayaan civil society tersebut tidak boleh lekas merasa puas. Proses pemberdayaan harus terus menerus dilakukan, agar ketika situasi depresi politik semakin hebat, semua warga telah siap menyambut dengan kekuatan penuh.


Footnote:
1 Z.A. Pelczynski (ed.), The State and Civil Society: Studies in Hegel Political Philosophy, (Cambridge England: Cambridge University Press, 1984) h.1 dikutip dalam M. Ryaas Rasyid, "Perkembangan Pemikiran Masyarakat Kewargaan (Tinjauan Teoritik)", Jurnal Ilmu Politik 17 hal. 4.
2 Mohamad AS Hikam, Demokrasi Dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 13.
3 E.Gyimah-Boadi, "Civil Society In Africa" dalam Journal of Democracy April 1996 Vol.7 No 2 hal. 118132.
4 Douglas Saltmarshe, "Civil Society And Sustainable Development In Central Asia" dalam Central Asia Survey, Vol.15 No.3/4 Tahun 1996 hal. 387398.
5 Gyimah-Boadi, "Civil ....", hal. 118132.
6 Marcia A.Weigle and Jim Butterfield, "Civil Society in Reforming Communist Regime : The Logic of Emmergence" dalam Comparative Politics, Vol. 25 No.1 October 1992 hal. 124.
7 idem , namun kemudian disesuaikan dengan perkembangan situasional yang terjadi di Indonesia
8 Uraian lebih jauh tentang the Paradox of Civil Society dapat dibaca dalam Michael W.Foley & Bob Edwards, "The Paradox of Civil Society" Journal of Democracy, Vol. 7 No.3 July 1996 hal. 38-52 dan Jeffrey C. Alexander, "The Paradoxes of Civil Society" jurnal International Sociology, Vol.12, No. 2, June 1997, hal. 115134.

Media:
Detikcom, 8 January 2009
Detikcom, 15 Januari 2009

Tidak ada komentar: